Pendidikan dan Kepentingan Politik

Author : Humas | Selasa, 25 Januari 2011 | Suara Karya - Suara Karya

Secara historis, perjalanan sistem pendidikan di Indonesia cukup panjang. Seiring masuknya agama Hindu dan Budha ke Tanah Air, pada mulanya masyarakat Nusantara telah mengenal pendidikan keagamaan, yaitu pendidikan Hindu dan Budha. Agama Hindu yang tampaknya menganut istilah kasta berpegang teguh pada sistem pendidikan feodalistik. Hanya keluarga Brahmana yang dapat mengenyam pendidikan. Selain itu, ada juga sistem petapa. Dalam hal ini, para peserta didik mengunjungi orang yang bertapa sebagai guru yang mengajarkan agama Hindu.

Berbeda halnya dengan agama Budha yang menganut sistem pendidikan yang lebih demokratis dibandingkan dengan agama Hindu. Karena memang di dalam ajaran Budha tidak mengenal kasta, jadi pendidikan diperuntukkan untuk umum dan bukan hanya untuk satu golongan saja.

 

Adapun di zaman Kesultanan Islam, pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah. Pada saat itu sudah dikenal sistem pendidikan surau atau langgar dan sistem pendidikan pondok pesantren. Sistem pesantren ini kemudian dimasukkan ke dalam kancah politik setelah datangnya kolonial Belanda.

Dalam pandangan kaum kolonial, pondok pesantren dianggap sebagai kaum pemberontak. Atas dasar penilaian ini, maka pesantren tidak lagi tercantum dalam statistik pendidikan Hindia Belanda. Upaya untuk menutup pengembangan sistem pendidikan Islam di Nusantara tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya Undang-Undang Sekolah Liar (wilden Scholen Ordonantie), masing-masing tahun 1925 dan 1930. Institusi pendidikan yang memenuhi Undang-Undang tersebut dianggap legal dan diberi subsidi dari pemerintah. Sedangkan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dianggap liar dan harus dibubarkan.

Untuk mengantisipasi kebijakan politik Hindia Belanda tersebut, sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai mengadopsi sistem pendidikan Barat. Organisasi Jami'atul Khoiriah sebagai organisasi yang didirikan oleh para pedagang keturunan Arab mempelopori berdirinya sistem pendidikan modern dalam Islam. Kemudian setelah itu baru diikuti oleh Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya.

Terlepas dari itu semua, ternyata pendidikan erat kaitannya dengan poiitik. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam sistem sebuah negara. Menurut Sirozi, seorang doktor alumnus Monash University of Australia, Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik suatu negara, baik negara maju ataupun negara yang sedang berkembang. Senada dengan itu, Paulo Freire juga mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.

Keduanya sering dilihat oleh sebagian orang tidak ada kaitan dan hubungan, padahal politik dan pendidikan saling menopang dan saling mengisi satu sama lain. Pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku dan moralitas masyarakat di suatu negara. Begitu juga sebaliknya, perilaku politik di suatu negara memberikan karakteristik pendidikan di negara tersebut. Hubungan tersebut merupakan realitas yang telah terjadi sejak munculnya peradaban manusia dan sedang menjadi kajian penting para ilmuwan modern.

Hubungan erat pendidikan dengan politik dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan pendidikan. Dampak positif yang dapat dihasilkan dari hubungan keduanya adalah pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam politik dapat memberikan subsidi kepada pendidikan. Dengan adanya subsidi tersebut, pendidikan bisa berkembang sebagaimana mestinya.

Netral

Hari Sucahyo dalam artikelnya, Menelusuri Persepsi Politik dalam Pendidikan mengatakan, bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan.

Oleh karena itu, tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab, yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin. Pendapat ini beliau kutip dari ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner.

Hemat penulis, hubungan antara politik dan pendidikan dapat memberikan dampak negatif atau positif bergantung pada pemegang peranan penting dalam politik tersebut. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompetensi dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan. Tetapi, jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.

Melihat realitas tersebut, tidak sedikit orang yang menginginkan agar pendidikan benar-benar terpisah dari politik. Mereka mneginginkan antara pendidikan dan politik menjadi dua aspek yang terpisah dan tidak berhubungan. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai politik kepentingan penguasa. Kecenderungan tersebut memuncak pada tahun 1970-an, khususnya di Amerika Serikat (AS).

 

Terlepas dari itu semua, Jika kita melihat realitas politik di Indonesia saat ini, maka hendaknya pendidikan dijadikan satu hal yang netral. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan lembaga pendidikan sebagai penyalur dari kepentingan politik tertentu. Selain itu, jika pendidikan tidak dinetralisir dari dunia politik, maka kepentingan politik akan dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan. Dan, ini akan memecahkan konsentrasi lembaga terhadap pendidikan, yang pada akhirnya akan merusak nilai-nilai mulia pendidikan. ***
Penulis adalah peneliti di Bestari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jatim.

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=271257
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler