Prospek Komunitas ASEAN
Author : Humas | Selasa, 10 Mei 2011 | Suara Karya - Suara Karya
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) Ke-18 telah digelar di Jakarta, 7-8 Mei. Berbagai isu telah dibahas, antara lain konflik Thailand-Kamboja yang hingga kini tetap menjadi sorotan utama.
Konflik yang kembali memanas dalam beberapa hari terakhir tersebut menjadi batu sandungan tersendiri bagi masa depan ASEAN. Sebagaimana telah disampaikan oleh para pengamat masalah regional jauh hari sebelumnya, ASEAN memang harus bisa mengatasi permasalahan intern ASEAN sendiri, seperti hanlnya konflik bilateral. Permasalahan semacam ini akan sulit teratasi jika ASEAN masih tetap teguh memegang prinsip non-interference dan kurang mengedepankan dialog dalam setiap permasalahan.
Sejak mulai dibentuk tahun 1976, ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) sepertinya tidak beranjak dari tujuan stabilitas dan keamanan regional. Padahal, secara konseptual ASEAN sedang menuju ke panggung baru, yaitu komunitas regional, yang berorientasi pada masyarakat (people-oriented). Sebelumnya, ASEAN telah 'dianggap' melalui 'panggung demokrasi', yaitu menggunakan pendekatan demokratis dalam setiap pengambilan keputusan.
Tentunya dalam alam nyata, ASEAN hampir tidak berajak dari organisasi yang hanya bertujuan menciptakan stabilitas kawasan. Dalam hal ini, ASEAN masih tidak bisa lepas dari isu high politics, seperti masalah keamanan-militer. Sebelum konflik Thailand-Kamboja menyeruak, sengketa wilayah antara Indonesia-Malaysia juga menjadi salah satu kritik banyak sarjana hubungan internasional terhadap efektivitas ASEAN.
Secara umum, rasa saling percaya di antara anggota ASEAN masih belum tumbuh secara optimal. Dilema keamanan masih sering muncul mewarnai hubungan internasional antarnegara di kawasan Asia Tenggara.
Hal itu berbeda dengan pola hubungan antarnegara anggota Uni Eropa. Pasca Perang Dunia II, lebih khusus pasca perang dingin, rasa saling percaya di antara negara anggota Uni Eropa telah mampu dianulir dengan baik. Bahkan hingga saat ini tidak ada ketegangan keamanan-militer di antara Jerman dan Perancis, dua negara yang saling berkonfrontasi selama masa Perang Dunia. Hal itu mampu diatasi oleh kerja sama fungsional (non-politik) yang ditandai dengan terbentuknya 'komunitas batu bara dan besi' Eropa pada tahun 1951.
Tantangan
Berbeda dengan Eni Eropa, ASEAN berusaha untuk memulai proses integrasi dengan menggunakan tiga pilar secara bersama-sama, politik-keamanan, ekonomi dan sosio-kultural melalui wadah ASEAN Community (Komunitas ASEAN). Namun, besar kemungkinannya hal itu justru akan memberatkan masa depan ASEAN sendiri.
Wacana Komunitas ASEAN tahun 2015 bagaikan membangun sebuah rumah dengan tiga pilar. Rumah tersebut tentu lebih kuat jika dibandingkan dengan satu pilar, tapi berbahaya jika ketiga pilar tersebut rapuh. Akan lebih baik, jika membangun rumah secara bertahap namun dengan fondasi yang kokoh. Begitu juga dengan ASEAN, akan lebih baik jika meniru Uni Eropa dengan melakukan kerja sama fungsional secara bertahap.
Setidaknya ada dua faktor fundamental yang membedakan antara ASEAN dan Uni Eropa.
Faktor pertama, sejarah integrasi yang berbeda. Kerja sama perdagangan antar negara-negara Eropa Barat dimulai pada saat era pasca Perang Dunia II. Kehancuran pasca perang mendorong negara-negara Eropa Barat melakukan perbaikan secepatnya. Karena perekonomian Eropa sangat bergantung pada sektor industri, kerja sama batubara dan besi menjadi solusi yang tepat untuk dilakukan saat itu.
Faktor kedua, paham liberal yang dianut oleh semua negara Eropa Barat. Tentunya hal tersebut akan menunjang kerja sama ekonomi antarnegara yang pada dasarnya memang bersumber pada nilai-nilai liberal.
Kedua faktor tersebut tidak dimiliki ASEAN, sehingga tidak memungkinkan untuk meniru proses integrasi ala Uni Eropa secara mentah-mentah. Pertama, ASEAN tidak bisa melakukan kerja sama yang berbau politis, karena hal itu terbukti tidak efektif, terlebih di tengah Thailand dan Kamboja sedang bergejolak.
Kedua, ASEAN juga tidak bisa melakukan kerja sama ekonomi, karena tidak memiliki kepentingan ekonomis mendasar seperti halnya negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II. Selain itu, kondisi ekonomi negara-negara ASEAN yang berbeda satu sama lain (dengan kesenjangan cukup tajam), akan mempersulit diterapkannya pasar bebas.
Paling tidak, dari ketiga pilar ASEAN Community tersebut, sosio-kultural merupakan pilar yang memiliki prospek paling bagus. Dalam konteks ASEAN, sosial budaya merupakan aspek yang paling netral, jika dibandingkan dengan politik ataupun ekonomi. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial dan budaya bangsa Asia Tenggara yang kuat.
ASEAN bisa memulai kerja sama sosio-kultural ini dengan menciptakan program pertukaran pelajar, mahasiswa, guru, dosen atau bahkan budayawan dan seniman. Seperti yang tercantum dalam tujuan ASEAN Socio-Cultural, yaitu memberikan kontribusi dalam mewujudkan Komunitas ASEAN yang berorientasi pada rakyat untuk mencapai solidaritas dan persatuan di antara bangsa dan rakyat ASEAN.
Lebih lanjut, ASEAN Socio-Cultural juga memiliki tujuan menumbuhkan kesamaan identitas dan membangun masyarakat yang saling peduli dan berbagi. Tujuan itamanya adalah untuk dapat meningkatkan taraf hidup, mata pencaharian, serta kesejahteraan rakyat di kawasan. ***
Penulis adalah peneliti muda Center for East Asia Studies
(CEAS) Universitas Muhammadiyah Malang.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=278489
Shared:
Komentar