Sektor Informal dan Pengentasan Kemiskinan
Author : Humas | Selasa, 22 November 2005 | Suara Karya - Suara Karya
Permasalahan sektor informal seakan tiada pernah henti meski secara teoretis sektor ini bukanlah fenomena yang baru. Sektor informal sudah ada di sekeliling kita sejak manusia ada di muka bumi. Karena sejak manusia ada di muka bumi, mereka melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menciptakan kerja sendiri atau self employed. Akan tetapi, sektor informal selalu saja mendapatkan stigma sebagai "penghambat" pembangunan. Kendala klasik tersebut selalu saja menuai permasalahan yang kian hari kian sempit ruang geraknya. Akibatnya, sektor informal semakin sulit untuk dapat mengembangkan usahanya demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan formal. Karena, pertumbuhan penduduk tersebut tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja dengan membangun sumber daya yang berkualitas. Sehingga, sumber daya manusia yang dihasilkan tidak mampu mengikuti kompetisi di era industrialisasi yang semakin ketat. Hal ini ternyata menyebabkan sumber daya manusia yang minim modal dan keterampilan. Mereka kemudian menekuni kegiatan sektor ekonomi informal untuk dijadikan sebagai lahan mata pencaharian bagi pemasukan ekonomi bagi keluarga. Dan, inilah permasalahan paling mendasar yang dialami sebagian besar warga perkotaan, yakni merebaknya kemiskinan.
Di sisi lain, pemerintah masih menganggap bahwa sektor ekonomi informal merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui penarikan retribusi. Retribusi pada dasarnya adalah pajak yang merupakan kewajiban semua warga negara. Akan tetapi, penarikan pajak sudah seharusnya disertai dengan pelayanan pemerintah mengenai keberlangsungan kegiatan pada sektor ekonomi informal, seperti penyediaan tempat untuk melakukan usahanya serta jaminan keamanan dan sebagainya.
Selain itu deregulasi ekonomi menimbulkan masalah persaingan antara pengusaha yang bermodal besar dan sektor ekonomi informal yang bermodal kecil. Sebagai contoh, munculnya swalayan mengakibatkan pedagang kecil terdesak dan harus menyingkir ke daerah pinggiran kota yang kurang strategis letaknya yang kemudian menyebabkan penghasilan mereka menurun. Dan, masih adanya persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah yang melihat bahwa sektor ekonomi informal atau sektor informal sebagai kelompok yang tidak tertib dan memerlukan peraturan. Namun, peraturan atau kebijakan tersebut biasanya cenderung merugikan sektor ekonomi informal sehingga mereka kadangkala terpaksa melakukan kegiatan tanpa memerhatikan peraturan yang ada.
Menurut James Petras, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Kapitalisme telah menjadikan negara dunia ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat-pusat perbelanjaan, salah satunya merupakan upaya untuk menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal.
Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linear dan stabil.
Dalam konteks pembangunan perkotaan, membangun orientasi kehidupan masyarakat perkotaan menjadi lebih baik tentu saja merupakan agenda penting bagi pemerintahan pada saat ini. Akan tetapi, pada kenyataannya, pemerintah selama ini cenderung mengabaikan agenda tersebut yang seharusnya perlu dijadikan prioritas utama. Yang terjadi malah sebaliknya, kebijakan pemerintah tentang keberadaan sektor ekonomi informal selama ini menunjukkan bahwa pemerintah terkesan telah menjadi mesin akumulasi kapital. Segala bentuk kebijakan pemerintah diorientasikan bagi target pertumbuhan ekonomi.
Orientasi ini telah menempatkan pelaku ekonomi sebagai kekuatan yang signifikan dalam membentuk kebijakan pemerintah. Proses ini secara tidak langsung telah menjadikan struktur kekuasaan yang didominasi oleh konspirasi pemerintah dan pengusaha. Dengan demikian, peran-peran bisnis telah berubah menjadi peran politik yang besar dalam penentuan kebijakan.
Langkah Pemberdayaan
Apabila sektor ekonomi informal dikelola dengan baik, maka tidak dapat dimungkiri bahwa sektor ekonomi informal akan menjadi sebuah survival strategy. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan potensi yang ada dalam sektor ekonomi informal melalui langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, hendaknya pemerintah daerah dapat memahami bahwa modernisasi di perkotaan bukan hanya sebatas pada pembangunan plaza dan mal-mal saja. Akan tetapi, modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai pemberian tempat yang lebih layak bagi ekonomi informal pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar rakyat miskin.
Kedua, retribusi atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh pemerintah daerah seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan pendapatan real dan juga adanya timbal balik berupa pelayanan kebersihan dan keamanan sektor ekonomi informal.
Ketiga, hendaknya pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menciptakan pusat pelayanan bagi sektor-sektor ekonomi informal demi perberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Sebenarnya masih banyak lagi langkah-langkah pemberdayaan sektor ekonomi informal lainnya. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengupayakan dapat berlangsungnya usaha rakyat kecil di sektor ekonomi informal yang juga miskin akan modal dan juga keterampilan. Sehingga, pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka tidak lagi tergantung kepada pemerintah dengan tidak tersedianya pekerjaan pada sektor formal. Sementara pemerintah sendiri nyatanya belum mampu dari segi dana untuk melakukan investasi besar-besaran guna mengatasi permasalahan ketenagakerjaan. ***
Penulis pemerhati masalah sosial
dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=127705
Shared:
Komentar