Terjebak Indikator Ekonomi Semu

Author : Humas | Kamis, 08 Maret 2007 | Suara Karya - Suara Karya

Para analis dan praktisi ekonomi terhenyak ketika mendengar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu yang menyebutkan hasil report pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2006 yang hanya mencapai 5, 5 persen, jauh di bawah target yang ditetapkan sebelumnya sebesar 5,8 persen.

Kondisi tersebut tentunya berdampak besar, baik dari sisi keyakinan akan pencapaian target tahun 2007 yang telah ditentukan dalam RAPBN sebesar 6,3 persen, maupun dampak beban psikologis ekonomi yang terkadang menghadapi persoalan bawaan (carry over) dari tahun sebelumnya. Indikatornya adalah pulihnya daya beli konsumen, indeks harga saham gabungan (IHSG) yang tinggi, laju inflasi yang terkendali di level 6,6 persen, kecenderungan tingkat suku bunga yang rendah dan aksi aktraktif Bank Indonesia (BI) ketika mampu melunasi utang ke Dana Moneter Internasional (IMF).

 

Cadangan devisa negara masih tetap aman atau berada pada kisaran 42 miliar dolar AS. Namun, angka itu hanya memberi penjelasan atas makroekonomi di tahun 2006, tidak bisa dijadikan justifikasi atas pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Minimnya lapangan kerja dan tingginya angka pengangguran dipicu oleh rendahnya pembukaan investasi baru, khususnya untuk sektor riil. Melambungnya bunga kredit sulit untuk dijangkau kalangan bisnis. Maklum, pertumbuhan kredit hanya 6 persen sepanjang 2006. Sangat rendah dalam sejarah perbankan Indonesia pascakrisis ekonomi.

Persoalan lain yang terkait dengan sektor riil, selain masalah pembiayaan, adalah masalah kepastian hukum dalam berusaha, sistem birokrasi, ekonomi biaya tinggi, dan infrastruktur yang amburadul. Semua itu belum mampu diselesaikan pemerintah secara bijak.

Investasi di sektor riil menjadi pilihan satu-satunya untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia. Masalahnya, apakah rendahnya inflasi sudah mengarah ke perbaikan ekonomi Indonesia?

Sejauh ini, rendahnya inflasi bukan disebabkan kemampuan BI mengendalikan laju inflasi, tetapi lebih karena daya beli masyarakat yang rendah saat ini. Gejolak naiknya harga beras yang tidak mampu diatasi oleh kebijakan pemerintah menjadi momok inflasi di kemudian hari, yang akan menjadi bom waktu.

Sebenarnya pemerintah tertolong dari sisi perdagangan internasional. Kinerja ekspor mencapai angka-angka yang fantastis. Bahkan, pada akhir 2006, nilai ekspor diperkirakan mendekati 100 miliar dolar, kendati lebih disebabkan kenaikan harga komoditas tertentu di pasar dunia.

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita, mengapa stabilitas makroekonomi belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia? Mungkin ada dua jawaban yang saling berkorelasi antara satu dengan yang lain.

Pertama, diperlukan waktu sebelum perbaikan stabilitas makroekonomi yang tercermin dalam perbaikan sektor riil. Kedua, terdapat kecenderungan terjadinya lepas kaitan antara sektor finansial dan sektor riil dalam ekonomi, sehingga tidak otomatis perbaikan sektor finansial akan diikuti dengan perbaikan sektor riil.

Karena itu, optimisme pemerintah juga harus diikuti dengan keseriusan untuk merealisasikan berbagai janji dan komitmen yang sudah pernah disampaikan secara terbuka kepada publik. Mulai dari urusan ketenagakerjaan, kepabeanan, investasi, perpajakan, otonomi daerah, hingga kepastian hukum. Semua itu harus segera diselesaikan untuk menciptakan rasa aman, tenang, dan nyaman bagi investor lokal dan asing.

Dengan demikian, perbaikan makroekonomi nasional bisa jadi momentum kebangkitan sektor riil, bila pemerintah bisa mengimplementasikan sejumlah kebijakan atau program ekonomi yang selama ini masih diwacanakan. Maka diperlukan dukungan koordinasi yang kondusif antara BI selaku pemegang otoritas moneter dan pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan fiskal. Diharapkan hal itu bisa membuka pencerahan sektor riil.

Selain itu, BI harus mampu mengendalikan inflasi dan mewujudkan intermediasi perbankan yang baik. Sedangkan pemerintah harus mampu merealisasikan pengeluaran pemerintah secara tepat waktu dan sasaran. Selain itu, pemerintah juga harus mampu mengimplementasikan pembangunan infrastruktur, terutama bidang transportasi dan energi, meningkatkan ekspor nonmigas, mengendalikan harga-harga komoditas yang diatur pemerintah. Tak kalah penting juga harus mampu mengatur kelancaran distribusi serta rantai pasok terutama barang-barang kebutuhan pokok, dan mendorong peningkatan kapasitas produksi sektor riil.

 

Tak hanya itu, pemerintah hendaknya mampu mengakselerasi faktor akumulasi melalui peningkatan tabungan publik, menstimulus investasi langsung asing dan perbaikan sistem keuangan. Kemudian, memperbaiki harapan investor dengan menerapkan tarif pajak rendah, dan mengurangi risiko investasi makro. Poduktivitas juga perlu ditingkatkan dengan memperbesar anggaran bagi sektor pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta memperbanyak investasi di bidang infrastruktur publik.***
Penulis adalah mahasiswa Program Magister Manajemen
Universitas Muhammadiyah Malang dan karyawan BNI Gresik

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=168130
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler