Transisi Pertumbuhan Ekonomi Jangka Pendek

Author : Humas | Rabu, 25 Juli 2007 | Suara Karya - Suara Karya

Bank Dunia dalam laporan East Asia & Pacific Update beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Indonesia dipandang perlu memperkuat kemitraan pemerintah dengan swasta. Selain itu juga perlu mengembangkan spesialisasi produksi agar tidak terjebak dalam stagnasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dengan jalan itu, Indonesia dapat terus tumbuh dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Secara realitas empiris, tingkat pendapatan per kapita di negara-negara yang pernah dilanda krisis rata-rata telah melebihi tingkat pra-krisis. Banyak pengalaman yang terjadi di negara yang terkena krisis menyatakan bahwa negara yang baru meningkat dari tingkat pendapatan rendah ke pendapatan menengah menghadapi tantangan untuk terus tumbuh lebih tinggi atau malah cenderung menurun.

 

Saat ini pendapatan per kapita Indonesia secara nominal adalah 1.300 dolar AS. Namun, karena tingkat harga barang dan jasa di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan di Amerika Serikat, pendapatan per kapita Indonesia terkoreksi ke atas menjadi sekitar 4.000 dolar AS.

Harus diakui bahwa Indonesia telah melewati masa sulit dengan tidak mudah. Tapi, perjalanan ekonomi Indonesia diwarnai dengan optimisme tinggi. Rasa was-was dan kehati-hatian belum sepenuhnya hilang, mengingat pergerakan ekonomi Indonesia hingga kini masih fluktuatif dan tidak pernah bisa diduga sebelumnya.

Perekonomian yang bergerak fluktuatif merupakan masalah serius yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan ekonomi. Fluktuasi ekonomi, baik yang negatif maupun positif, memberikan efek pada setiap perubahan dan perkembangan ekonomi yang ada pada setiap perekonomian. Kondisi itu berimplikasi pada kebijakan ekonomi yang harus dilakukan.

Fluktuasi ekonomi ditandai adanya pergerakan naik-turun dari variabel-variabel ekonomi yang disebabkan oleh faktor endogen maupun eksogen di sisi aggregate supply maupun aggregate demand.

Gagalnya target pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode sebelumnya menjadi indikasi yang patut diperhatikan. Tidak tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi memiliki implikasi yang baru dapat dirasakan akibatnya pada periode berikutnya. Seperti diketahui bahwa target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBN-P 2006 lalu sebesar 5,8 persen tidak tercapai dan hanya tercapai pada besaran 5,5 persen.

Gagalnya target pertumbuhan ekonomi tidak lepas masalah struktural yang tengah menghadang laju pertumbuhan ekonomi. Masalah-masalah tersebut antara lain lemahnya dukungan iklim investasi dan struktur pasar, belum memadainya ketersediaan infrastruktur, permasalahan birokrasi, rendahnya produktivitas, dan inefisiensi faktor produksi.

Realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 prosen lebih banyak didorong oleh anggaran belanja modal dan barang pemerintah yang dikeluarkan selama periode 2006 yakni Rp 106,5 triliun. (Kompas, 3 Januari 2007). Secara teoretis, anggaran belanja modal dan barang merupakan indikator pengeluaran pemerintah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, selain faktor konsumsi masyarakat, investasi dan ekspor.

Hingga saat ini hanya sektor pemerintah yang mampu dan diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sedangkan sektor investasi dan konsumsi masyarakat belum dapat diandalkan secara optimal.

Upaya untuk mengatasi pelambatan ekonomi jauh hari sudah diperhatikan. Rangkaian kebijakan dilakukan untuk menuju satu tekad, yakni membuat Indonesia lebih baik. Tekad itu tertuang dalam prinsip Triple Track Strategy: Pro-Growth, Pro-Job, dan Pro-Poor.

Strategi pertama dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan berbasis ekspor dan investasi. Strategi kedua dengan menggerakkan sektor riil guna menciptakan lapangan kerja. Strategi ketiga dengan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan, dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan.

Kini ekonomi bergerak pada model ekonomi jangka pendek. Ekonomi jangka pendek dicirikan dengan adanya stabilitas ekonomi makro pascakrisis yang tidak bertahan lama. Yakni hanya sekitar satu tahun sebelum inflasi kembali, baik karena kenaikan harga administratif, seperti BBM, bahan pangan, maupun permintaan lebih tinggi daripada penawaran. (Juoro, 2007).

Ketika inflasi rendah, suku bunga juga menurun dan sektor ekonomi tertentu, terutama keuangan, perdagangan, perumahan, dan penjualan kendaraan bermotor mendapat peluang besar untuk tumbuh tinggi.

Belakangan ini kita lihat peningkatan yang tinggi dari indeks pasar modal, minat yang tinggi terhadap obligasi yang dikeluarkan pemerintah dalam denominasi rupiah dan dolar, dan minat tinggi pada obligasi perusahaan. Investor juga lebih tertarik investasi strategis dengan membeli saham perusahaan yang ada daripada melakukan investasi baru. Bagi banyak investor strategis, setiap saat mereka dapat menjual kembali perusahaan yang dibeli dengan mendapat keuntungan (capital gain) tinggi. Sedikit investor strategis yang mempertahankan perusahaan yang dibelinya dalam jangka menengah apalagi jangka panjang.

 

Ekonomi jangka pendek tidak akan menghasilkan perekonomian yang kokoh dan tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Orientasi pada investasi portofolio tidak memberi sumbangan pada penciptaan kesempatan kerja.***
Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang,
peneliti pada Economic Reform Institute (Ecorist)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=178303
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler