TANGGAL 3-8 Juli mendatang, Muhammadiyah menggelar Muktamar ke-45 di Kota Malang, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kegiatan akbar organisasi sosial kemasyarakatan Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini mencatat momentum penting di tengah pergumulan kehidupan keormasan dan kepartaian yang banyak dihadapkan perpecahan.
Adalah Prof Dr Ahmad Syafi'i Ma'arif MA, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini mengingatkan agar Muhammadiyah tak sampai meniru pola berorganisasi partai politik (parpol) dan ormas lain yang dirundung perpecahan internal setelah mereka menggelar muktamar, munas, atau kongres. "Muktamar Muhammadiyah jangan sampai seperti itu," kata Buya, panggilan akrab Syafi'i Ma'arif, ketika membuka soft launching muktamar ke-45 organisasi ini di Kota Surabaya beberapa waktu lalu.
Kepemimpinan puncak Muhammadiyah lima tahun ke depan hendaknya tak menjadikan organisasi sosial Islam yang memiliki anggota sekitar 30 juta ini, sebagai tangga politik merebut jabatan politik di legislatif, pemerintahan, ataupun institusi publik lainnya. Ketua Umum PP Muhammadiyah mendatang mesti istikamah memegang khitah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912 tersebut untuk berkhidmat di bidang sosial keagamaan dan sosial kultural.
Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid dan pencerahan teologi Islam umat Muhammad SAW di Indonesia dari pengaruh sinkretisme (pencampuradukan ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya lokal non-Islami) dalam ritual keagamaan umat. Gerakan Muhammadiyah di Indonesia dilandasi semangat gerakan purifikasi Islam di Timur Tengah yang dipelopori Muhammad Bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Djamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridha, dan lain-lainnya.
Oleh sebab itu, hakikat gerakan Muhammadiyah sangat jauh dengan gerakan politik, apalagi mencoba mengubah Muhammadiyah sebagai kekuatan politik seperti yang pernah dilakukan NU sejak tahun 1952 (setelah keluar dari Masyumi) sampai tahun 1972 (ketika dipaksa berfusi ke PPP akibat kebijakan fusi partai oleh rezim Orba Soeharto).
Peneguhan Muhammadiyah di jalur kultural sesuai dengan khitahnya sangat penting dalam konteks sekarang, sebab sistem multipartai yang diterapkan dalam sistem perpolitikan nasional pascatumbangnya rezim Orde Baru, belum menunjukkan perkembangan signifikan dalam perspektif pendewasaan politik rakyat. Partai-partai lebih banyak dirundung konflik internal dan pembelahan kekuatan internal setelah mereka menggelar munas, kongres, muktamar, dan lain sebagainya.
Warna potret politik nasional yang cenderung muram tentunya tak menarik minat aktivis dan tokoh gerakan Islam seperti Muhammadiyah dan NU. Seperti dikatakan kiai berpengaruh di NU, KH Mustofa Bisri, praktik politik Indonesia masih brengsek, tak jarang antarpolitikus mengerjai koleganya sendiri dengan cara-cara sangat menyakitkan dan tak mengindahkan etika. "Karena itu saya ingatkan agar politikus bertobat," kata Gus Mus, ulama-budayawan saat menyampaikan mauizah hasanah dalam kegiatan Munas Alim Ulama dan Mukernas PKB ulama pimpinan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf di Surabaya.
Pola perpolitikan Indonesia yang masih banyak diwarnai dengan praktik menghalalkan segala cara makin menjauhkan minat Muhammadiyah bergerak di tataran ini. Gerakan politik praktis dinilai bisa mendegradasi teologi dan landasan dasar gerakan Muhammadiyah sebagai persyarikatan tadjid demi pencerahan kehidupan beragama (Islam) di Indonesia.
Sebenarnya Muhammadiyah pernah terlibat langsung dalam aktivitas politik praktis setelah negara ini baru saja diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bersama dengan NU, PSII, Perti, Persis Bandung, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Pusa), Al Irsyad, Al Washliyah, Nahdatul Wathan, dan ormas Islam lainnya, Muhammadiyah adalah pendiri dan jadi "anggota istimewa" Partai Masyumi. Partai Islam ini didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 sebagai respons kekuatan Islam politik terhadap imbauan pemerintah melalui maklumat 3 November 1945. Imbauan yang ditandatangani Wapres M Hatta itu berisi ajakan pemerintah kepada semua kekuatan bangsa untuk membentuk partai politik.
Enam Pergantian
Apalagi pada kepemimpinan DPP Masyumi pertama, dari 24 tokoh yang duduk di puncak struktur kepemimpinan partai ini, sebanyak 11 tokoh di antaranya berasal dari Muhammadiyah. Siapa saja mereka? Dr Sukiman Wirjosandjojo, Wali Alfatah, KH Faqih Usman, Prawoto Mangkusasmito, RA Kasmat, HM Farid Ma'ruf, Junus Anies, Muhammad Roem, M Mawardi, R Prawirojuwono, dan HA Hamid.
Sejak Masyumi berdiri tahun 1945 hingga dibubarkan Presiden Soekarno tahun 1960, akibat kebijakan partai ini yang tak mau mengikuti gendang irama politik Soekarno yang mengakomodasi kekuatan komunis (PKI), Masyumi mengalami enam kali pergantian kepemimpinan nasional, yakni tahun 1949, 1951, 1952, 1954, 1956,
dan 1959. Dalam enam kali pergantian kepemimpinan Masyumi tersebut, tokoh-tokoh Muhammadiyah menempati banyak posisi penting di partai yang merebut tempat kedua Pemilu 1955 tersebut.
Kiprah politik Muhammadiyah di Masyumi berakhir sejalan dengan dibubarkannya partai ini oleh Presiden Soekarno tahun 1960. Pada awal berdirinya rezim Orde Baru, ada spirit dari beberapa tokoh Muhammadiyah untuk memimpin Parmusi. M Roem dan Lukman Harun pernah terpilih sebagai ketua umum dan sekjen Parmusi ketika partai ini dilahirkan dalam kongres di Malang. Tapi, rezim represif-militer Soeharto tak mengizinkan mantan petinggi Masyumi dan tokoh muda Muhammadiyah itu memimpin Parmusi. Akhirnya, Parmusi jatuh ke pelukan tokoh-tokoh yang bisa dikendalikan rezim Orba Soeharto.
Kendati PPP adalah sintesa antarpartai Islam yang melibatkan beberapa tokoh Muhammadiyah aktif di dalamnya, tapi kenyataan menunjukkan bahwa Muhammadiyah secara organisatoris tak pernah terikat atau mengikatkan diri ke dalam PPP. Itu berbeda dengan Partai NU yang meleburkan diri ke PPP sebelum ormas Islam ini menyapih PPP melalui Muktamar ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo tahun 1984.
Di tubuh PPP memang ada unsur Parmusi yang secara teologis dekat dengan Muhammadiyah, dan banyak pula tokoh Muhammadiyah yang terlibat aktif di PPP seperti Djarnawi Hadikusumo, namun kenyataan tersebut tak bisa disimpulkan bahwa Muhammadiyah terlibat di PPP secara institusional. (Ainur Rohim-46h