Dakwah Akademik di Tanah Renaisans

Author : Humas | Selasa, 26 Januari 2021 14:03 WIB | Suara Muhammadiyah - Suara Muhammadiyah
Dakwah Akademik di Tanah Renaisans
 

Dakwah Akademik di Tanah Renaisans

Oleh: Pradana Boy ZTF

Kali ini saya ingin menceritakan perjalanan dan kegiatan di Florence, Italia. Pada Desember 2018 dan Juni 2019 saya berkesempatan datang kota ini. Memang, perjalanan ke Italia adalah kunjungan saya ke Eropa untuk yang ke sekian kalinya. Tetapi mengunjungi Florence, Italia, ini memberikan banyak kesan yang berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya.

Pertama, beberapa teman yang mengetahui perjalanan saya ke Italia, segera memberikan komentar yang berkaitan dengan sepakbola. Ya, kita semua tahu, Italia adalah negara dengan perkembangan sepakbola yang sangat baik, menjadi pemasok pemain-pemain terbaik dunia dan menjadi kiblat sepakbola dunia.

Kedua, selain sepakbola, Florence adalah kota penting dalam sejarah Eropa. Kita semua tentu mendengar tentang Renaissance, sebuah tonggak baru kebangkitan Eropa dalam bidang seni, sastra, intelektualisme dan bahkan ekonomi. Florence adalah sebuah kota bersejarah karena di sinilah Renaissance yang terkenal itu lahir. Ya, Renaissance yang kemudian terjadi di seantero Eropa bermula dari Italia pada abad ke-4 hingga ke-17. Florence adalah pusatnya. Maka salah satu sebutan terkenal kota ini adalah Cradle of Renaissance.

Mengunjungi Cradle of Renaissance membawa saya kepada imaji tentang kebangkitan Eropa. Kota Florence memang tidak terlalu besar. Tetapi hampir semua sudut kota memancarkan aura historis yang kuat. Terdapat Katedral Agung yang bangunannya sudah sangat tua. Di sekeliling katedral berwarna hijau dengan kubah merah itu juga aneka bangunan tua bersejarah berdiri kokoh. Tak jauh dari kawasan itu, terdapat pula Museum Leonardo Da Vinci lengkap dengan aneka karya seni. Sungguh mengelilingi kawasan ini benar-benar membawa alam pikiran saya kepada Renaissance dengan segala kemajuan yang dibawa.

Menuju Florence sebenarnya tidak terlalu sulit. Hanya saja, karena Florence adalah sebuah kota kecil, penerbangan langsung dari berbagai bandara besar dunia tidak ada. Apalagi untuk antarbenua, seperti dari Asia Tenggara. Maka dua kali perjalanan saya ke Florence mengambil rute yang berbeda. Pada perjalanan pertama, saya terbang dari Surabaya ke Jakarta, dari Jakarta ke Singapore, dari Singapore ke Zurich dan dari Zurich (Swiss) baru lanjut ke Florence. Demikian pula dengan perjalanan pulang.

Dari Florence saya naik pesawat kecil ke Frankfurt (Jerman), lalu dilanjutkan rute Fraknfurt ke Singapore dan Singapore ke Jakarta. Pada perjalanan berangkat, pesawat dari Zurich ke Florence pagi hari dibatalkan, padahal menurut jadwal, pagi hari itu juga saya mengikuti rapat pertama dengan konsorsium. Dengan terpaksa saya harus menunggu penerbangan lain, yang baru terbang pada sore hari. Akibatnya, saya harus absen pada hari pertama rapat tersebut.

 

 

 

 

Karena pengalaman perjalanan yang sangat panjang, melelahkan dan tertinggal rapat ini, maka dalam perjalanan ke-dua saya memilih jalur lain. Kali ini jalur yang saya pilih adalah Surabaya-Singapore-Milan. Jalur ini lebih cepat, meskipun saya harus melanjutkan perjalanan dari Milan ke Florence dengan kereta api. Mendarat di Bandara Malpensa, Milan pada pagi hari, saya harus mengantri sekitar 45 menit di imigrasi.

Di musim panas seperti bulan Juni, jumlah wisatawan yang berkunjung demikian banyak, sehingga antrian di imigrasi mengular. Dari bandara Malpensa, saya naik kereta menuju Milano Centrale, yakni stasiun kereta api yang berada di pusat kota Milan dengan harga tiket 13 euro Dari Milano Centrale, saya membeli tiket seharga 56 euro menuju stasiun Santa Maria Novella di Florence. Tengah hari saya tiba di Florence.

Perjalanan ke Florence adalah perjalanan akademik. Bersama dengan belasan peneliti lain dari berbagai belahan dunia, saya tergabung dalam sebuah proyek penelitian berjudul Globalisation, Radicalisation and Secularisation. Proyek penelitian ini mengaji dan menganalisis dinamika agama, politik dan sekularisme dalam kaitannya dengan era globalisasi ini di dua puluh tiga negara di Eropa dan Asia. Anggota konsorsium penelitian ini adalah para peneliti dari berbagi universitas dan lembaga think-tank¸ dan sebagian di antaranya adalah para profesor senior.

Lembaga yang terlibat dalam konsorsium ini adalah European University Institute (Italia) yang bertindak sebagai koordinator konsorsium, University of Bristol (Inggris), Vitayutas University (Lithuania), University Muhammad V (Maroko), Jawaharlal Nehru University (India), Universitas Muhammadiyah Malang (Indonesia), Deakin University Australia, Turkish Economic and Social Studies Foundation (Turki), Center for the Study of Democracy (Bulgaria), SPIA Research Communication (Jerman), dan Social Information Research Development (Malaysia).

Saya beruntung menjadi bagian dari konsorsium ini. Karena di samping bisa membawa missi menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya melalui penelitian, saya juga banyak belajar kepada para guru besar senior yang berdedikasi tinggi dalam bidang ilmunya masing-masing. Di antara sekitar dua puluhan anggota konsorsium, ada lima guru besar senior yang dalam pandangan saya menjadi patron bagi kami, para peneliti yang lebih muda. Ada nama Tariq Modood (Inggris), Anna Triandafyllidou (Italia), Haldun Gulalp (Turki), Michelle Grossman (Australia), dan Gurpreet Mahajan (India). Mereka tangkas berdebat dan mengarahkan para akademisi yang lebih muda seperti saya.

 

 

Karena topik utama penelitian ini adalah agama dan politik, maka di hampir semua kesempatan perbincangan tentang agama selalu menjadi hiasan, baik yang bersifat analisis mendalam maupun pertanyaan-pertanyaan konfirmatif dari para penelitian tentang hal-hal yang mereka ketahui berkaitan agama tertentu secara sekilas. Dari ruang rapat, lobi hotel, hingga restoran, diskusi selalu berlangsung. Begitu jugalah yang saya alami. Tentu, saya secara formal mempresentasikan laporan. Tetapi obrolan yang tak kalah menarik terjadi di sesi makan malam.

 

 

Pada malam sesi makan formal, diselingi dengan aneka makanan khas Italia yang tak begitu akrab di lidah saya, peneliti dari Bulgaria dan dosen dari Albania terlibat diskusi cukup mendalam dengan saya tentang Islam. Saya tidak begitu menikmati makanan di restoran itu. Tetapi demikian dalam saya hanyut dalam perbincangan. Diskusi bermula dari pertanyaan peneliti dari Bulgaria apakah sebagai seorang Muslim, saya menjalankan ajaran Islam?

Pertanyaan ini tentu tidak hanya aneh, namun bagi sebagian orang yang benar-benar menganggap agama sebagai persoalan privat, pertanyaan ini cukup menyinggung privasi. Namun, karena kami semua adalah anggota konsorsium penelitian agama, maka pertanyaan ini menjadi biasa. Saya katakan bahwa saya seorang Muslim, dan menjalankan ajaran Islam. “Yes, I am a practicing Muslim,” jawab saya. “What about you?” saya balik bertanya.

Lalu peneliti itu menjawab bahwa ia secara formal adalah seorang penganut Kristen Ortodoks Eropa. “But, I am not a practicing Christian,” jawabnya. Ia mengaku tidak pernah ke gereja, tidak pernah berdoa bersama di gereja, dan tidak pernah membaca Injil. “I don’t even read Bible. Never. So far, I have not read my Book,” dia mengakui dengan terus terang. Ketika dia bertanya kepada saya apakah saya membaca al-Qur’an, maka saya menjawab bahwa saya tidak hanya membaca tetapi juga mempelajari isi al-Qur’an. Saya juga ceritakan kepadanya bahwa meskipun saya tidak mengajar mata kuliah Studi al-Qur’an secara khusus, tidak mungkin dalam mengajarkan mata kuliah di universitas tempat saya bekerja, saya meninggalkan rujukan-rujukan kepada al-Qur’an.

Penasaran dengan apa yang saya ceritakan, ia lalu bertanya kepada saya tentang berbagai hal tentang al-Qur’an. Sebagaimana orang Eropa yang hanya mengenal Islam sebagai agama kekerasan, peneliti inipun penasaran dengan hubungan antara al-Qur’an dan kekerasan. “Does Qur’an mention about violence?” Saya menjawab, jika hanya menyebutkan al-Qur’an menyebutkan tentang kekerasan, karena di dalam al-Qur’an ada kisah tentang pembunuhan.

 

 

Tetapi jika yang dimaksudkan adalah perintah melakukan kekerasan, maka tidak bisa dijawab dengan hitam putih “ya” atau “tidak”. Tentu ada perintah untuk berperang atau memerangi kelompok lain. Tetapi saya katakan ke peneliti Bulgaria itu bahwa perintah itu selalu datang dengan konteks dan bahwa kekerasan atau peperangan berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri. Kekerasan yang dibolehkan adalah kekerasan defensif dan bukan kekerasan ofensif.

Pembicaraan semakin mendalam. Penelitian Bulgaria dan Albania sepertinya semakin penasaran dengan kandungan al-Qur’an. Lalu peneliti dari Albania bertanya: “Does Qur’an talk about women and what does it say in general?” saya memberikan berbagai penjelasan yang tak mungkin saya tulis dalam kolom singkat ini. Namun, singkat cerita, di akhir dialog, mereka berdua sepakat. “Very interesting. I don’t think Qur’an contains all those tachings. So, Qur’an is a great book, then.” Sebuah pengakuan yang membuat saya terkejut. Pertanyaan-pertanyaan itu masih pula disusul dengan aneka pertanyaan akademis dan kadang-kadang menohok tentang Islam.

 

 

Sesi makan malam formal dengan segala obrolannya selesai pukul 23.00. Kami semua kembali ke hotel. Dalam perjalanan ke hotel, saya kembali mengingat diskusi tadi sambil berfikir seandainya semakin banyak kesempatan yang saya miliki untuk bertemu dengan para peneliti yang penasaran dengan Islam dan al-Qur’an, maka secara akademis, pelan-pelan kesalahfahaman tentang Islam itu akan bisa diluruskan.

Mengalami peristiwa-peristiwa seperti ini dan yang serupa, akhirnya juga mengingatkan saya kepada pernyataan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr. K.H. Saad Ibrahim. Dalam sebuah kesempatan acara tak lama setelah saya lulus S-3 dari National University of Singapore, Kiai Saad berkata: “Seharusnya Saudara Pradana Boy tidak usah pulang ke Indonesia dan kembali ke UMM. Justru dengan modal intelektual yang dimiliki, dia harus menjadi pendakwah Islam di negara-negara di mana Islam disalahfahami melalui forum-forum akademik…”

Menjadi bagian dari konsorsium penelitian di Florence, Tanah Renaisans inilah lalu saya menyadari kebenaran pernyataan Kiai Saad itu. Itu juga yang lalu menyadarkan saya bahwa jika selama ini saya jarang memperoleh kesempatan berdakwah di mimbar-mimbar masjid karena sebagian orang menyalahfahami pemikiran saya, maka saya harus mengambil arena dakwah yang lain. Benar saja, rupanya, Tuhan memang memberikan saya tugas lain: dakwah Islam di wilayah akademik.*

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/01/23/dakwah-akademik-di-tanah-renaisans/
Shared:
Shared:

Kategori

Berita Terpopuler