MALANG, Suara Muhammadiyah – Kita sekarang hidup pada era dimana perusahaan taksi terbesar di dunia, tidak memiliki satupun armada taksi (uber, grab, gojek). Kita hidup pada era dimana perusahaan ritel terbesar tidak memiliki satupun toko maupun gudang (amazon, tokopedia, sophie). Mereka inilah yang disebut start-up. Start-up bukanlah usaha kecil. Ini adalah usaha baru, baru dimulai.
Akhir 2019, valuasi aset Gojek mencapai 10 miliar USD, atau setara Rp 142 triliun. Angka ini 14 kali lipat dari valuasi aset Garuda Indonesia yang ‘hanya’ Rp 11,07 triliun. Valuasi aset tokopedia (berumur 10 tahun) mencapai 7 miliar USD, setara Rp 98 triliun, 15 kali dari valuasi aset Ramayana (berusia 40 tahun) yang hanya’ Rp 5 sekian triliun.
“Aset terpenting yang mereka miliki adalah intangible assets, aset tak berwujud. Aset ini berbeda dengan aset yang dimiliki oleh Garuda misalnya, yang lebih dominan tangible assets. Intangible assets bentuknya seperti brand, skill, inovasi, dan keterampilan. Aset-aset tak berwujud ini tidak dapat dilaporkan dalam laporan keuangan, karena tidak memenuhi kriteria sebagai aset,” papar Ihyaul Ulum.
Pada perusahaan ‘konvensional’, sambung Ulum, karena tidak dilaporkan, seringkali aset-aset takberwujud ini diabaikan dan tidak dikelola dengan baik. Sementara pada perusahaan start-up, justru aset inilah yang dibentuk, dimunculkan, dikelola, dan dihargai sangat tinggi.
Di sejumlah negara Eropa, selain harus menyusun laporan keuangan, perusahaan publik harus juga menyajikan laporan tentang pengelolaan aset takberwujud mereka. Bahkan, universitas dan organisasi-organisasi non-profit, belakangan juga mulai rajin mengungkapkan pengelolaan aset takberwujud yang mereka miliki. Intangible assets ini biasa juga disebut dengan istilah intellectual capital (IC) atau modal intelektual.
“IC adalah aset takberwujud. IC dapat berbentuk kepercayaan pelanggan, brand image, pengendalian distribusi, budaya organisasi, keterampilan manajemen, dan sebagainya,” demikian dipaparkan Ulum menerangkan tentang latar belakang dirinya selama 14 tahun terakhir ini menggeluti model pengukuran kinerja IC. Berkat menggeluti IC ini, pada Kamis (17/9) Ulum dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bidang Akuntansi.
Pengukuhan dilakukan di depan Gedung Kuliah Bersama (GKB) I UMM. Pengukuhan profesor kali ini sengaja digelar di ruang terbuka agar sirkulasi udara jauh lebih bagus, menyesuaikan protokol kesehatan Covid-19. Jumlah tamu undangan pun terbatas maksimal hanya 50 orang. Jumlah ini sudah termasuk dari keluarga guru besar, jajaran senat dan rektorat, serta para guru besar.
“Selama beberapa tahun terakhir ini, saya fokus kepada dampak pengelolaan modal intelektual dan pelaporannya melalui sejumlah media, misalnya: financial report, annual report, sustainability report, maupun official website organisasi,” terang pria kelahiran desa Paciran, pesisir utara kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Berbasis laporan keuangan misalnya, Ulum menawarkan suatu model untuk mengukur kinerja modal intelektual (intellectual capital performance) yang Ia beri label MVAIC (modified valueadded intellectual coefficient). Model ini cocok hanya untuk perusahaan konvensional. Sedangkan khusus untuk perbankan syariah, Ia memberi label Ib-MVAIC.
Ulum juga menawarkan suatu framework untuk pengungkapan modal intelektual perusahaan publik di Indonesia, ulum menyebutkan intellectual capital disclosure framework Indonesia (ICD-In). Terbaru, Ulum berusaha memetakan komponen modal intelektual yang dituntutkan oleh instrumen akreditasi program studi (IAPS) 4.0.
Mengutip pernyataan yang kerap disampaikan Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMM Alm. Prof. Dr. (H.C.) Abdul Malik Fadjar, M.Sc., rektor UMM Dr. Fauzan, M.Pd. menyebut, menjadi guru besar pada hakikatnya adalah meninggikan antena. Tetapi, tinggi saja tidak cukup. Harus membangun antena yang sinyalnya full, yang bisa memberikan resonansi. Resonansi dalam radius lokal maupun internasional.
“Prof. Ulum adalah antena yang sinyalnya kuat, diharapkan juga bisa memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan UMM. Kami ingin, seluruh guru besar di UMM jangan merasa lelah. Tetapi harus semuanya pasang antena yang tinggi-tinggi sesuai dengan kepakaran yang dimiliki. Karena satu hal yang ingin kita capai: kebermanfaatan,” kata Fauzan.
Seberapa hebat pun kampus itu, kata Fauzan, jika radius kebermanfaatannya juga tidak banyak, maka misi kampus belum dicapai. Kembali ditegaskan Fauzan, UMM dibangun dalam rangka untuk menebarkan kebermanfaatan untuk semua umat. Inilah sebabnya, maka slogan yang selalu diusung adalah “UMM dari Muhammadiyah untuk Bangsa”. (diko)