YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Milenial menulis, milenial mengkritik,” itulah tajuk bedah buku “Muslim Milenial untuk Transformasi Sosial” yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Cerdas (RBC) A. Malik Fadjar Institute (25/6). Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid, dengan pembicara utama Hasnan Bachtiar, Achmad San, dan AS Rosyid. Ketiganya merupakan editor utama buku tersebut.
Bedah buku ini adalah ikhtiar RBC Institute dalam merawat api literasi di Indonesia. Tentu, api literasi itu, dalam benak anak-anak muda Indonesia, mewujud dalam berbagai rupa. Tetapi, salah satu wujud api literasi anak muda Indonesia yang kini semakin kuat adalah semangat menulis, terutama menulis buku; sebuah kabar gembira yang patut kita syukuri.
Di sisi lain, terdapat kecenderungan semangat anak-anak muda Indonesia untuk ‘semakin kritis’ terhadap berbagai fenomena publik. Isu-isu agama, politik, lingkungan, sosial, ketatanegaraan, dan ekonomi, turun menjadi lahan garap ide-ide kreatif anak-anak muda Indonesia, yang mungkin sedikit ‘nakal’.
Buku “Muslim Milenial untuk Transformasi Sosial” pun begitu. “Tulisan-tulisan yang kami kumpulkan adalah tulisan yang memuat kemampuan untuk mengajukan kritik dari berbagai macam isu,” ujar AS Rosyid (25/6), salah satu editor yang juga pendiri Akademi Gajah. Lebih lanjut, AS Rosyid menambahkan bahwa kritik yang hendak disampaikan itu bukan sembarang kritik, melainkan sebuah kritik yang membawa tujuan khusus, yaitu “perubahan sosial yang bervisi keadilan dan kemanusiaan,” pungkas AS Rosyid (25/6), yang hari itu mengikuti via daring.
Buku Muslim Milenial untuk Transformasi Sosial itu terdiri dari delapan bab yang mencakup isu agama, kritik sosial, politiuk kebangsaan, ekonomi, pendidikan, lingkungan, gender, dan teknologi.
Selain itu, narasumber lainnya, Achmad San menyebut bahwa buku tersebut adalah kumpulan ide-ide segar anak muda Muhammadiyah yang telah ditempa di sebuah kelompok epistemik kultural bernama, Reading Group for Social Transformation (RGST), sekaligus menepis anggapan bahwa buku ini hanya sekadar gado-gado semata. Kelompok diskusi kultural yang dipelopori oleh Hasnan Bachtiar, dan kini dikomandoi oleh AS Rosyid itu berangkat dari semangat Islam transformatif ala Moeslim Abdurrahman, cendekiawan muslim Indonesia yang pernah aktif di Bidang Pemberdayaan Buruh, Petani, dan Nelayan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Buku Muslim Milenial itu juga secara tidak langsung begitu terinspirasi oleh pemikiran Islam transformatif Kang Moeslim, panggilan akrab Moeslim Abdurrahman. “Menurut Kang Moeslim, Islam itu adalah agama yang mampu membawa perubahan sosial”, ujar Hasnan Bachtiar (25/6), yang juga dosen Hukum Keluarga Islam (HKI) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Menurut Hasnan, itulah sisi transformatif pemikiran Kang Moeslim yang coba diramu di dalam buku tebal ber-cover merah tersebut.
Selain corak transformatif, dasar pemikiran kritis buku itu juga datang dari ide besar bergenre humanis. Corak humanism itu diilhami oleh dua tokoh penting republik ini, yaitu Abdul Malik Fadjar dan Soedjatmoko. Masih menurut Hasnan, sisi humanis Pak Malik, yang merupakan Menteri Pendidikan RI periode 2001-2004 begitu kuat, terutama mewujud dalam kerja-kerja pendidikan dan politik. Dalam hal ini, “Pak Malik punya pemikiran dahsyat mengenai pentingnya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia”, ucap Hasnan (25/6).
Sementara itu, Soedjatmoko, mantan kedubes Indonesia untuk AS periode 1968-1971 itu, adalah inspirator pemikiran “sosialis-humanist dan sebaliknya, humanisme-sosialist”, lanjut Hasnan, yang hadir secara luring di RBC (25/6).
Yang menarik adalah, buku Muslim Milenial untuk Transformasi Sosial itu, juga mengajukan kritik ke dalam dengan sangat keras. Sebagaimana disampaikan oleh Achmad San (25/6), bahwa “di dalam buku itu kritiknya macam-macam, yang pedas ada, yang sedang ada, yang agak sindiran dikit juga ada. Buku itu bahkan dibuka dengan kritik tegas bagi Muhammadiyah dan NU yang masih berebut kekuasaan, padahal sudah saatnya kita melampaui moderatisme yang diusung oleh Muhammadiyah dan NU.”
Tentu, kritik ke dalam yang boleh jadi dianggap nakal itu tetap disampaikan dalam kerangka berpikir yang runtut. Dan, sebagai seorang anak muda yang membawa ide segar, mengajukan kritik adalah kontribusi besar bagi pembangunan bangsa ini, sebab, tak jarang, kritik itu justru mendatangkan keseimbangan baru yang lebih adil dan memanusiakan manusia.
Akhirnya, “perubahan fisik itu selalu diawali dengan perubahan pikiran, dan perubahan pikiran itu diawali dengan mengajukan kritik,” ucap AS Rosyid (25/6). Itulah pesan utama buku ini. (Azhar Syahida)