SURYA Online, SURABAYA – Banyaknya masyarakat yang lupa menaikkan bendera setengah tiang 30 September (peringatan pemberontakan G30S/PKI) merupakan adanya desakralisasi peristiwa tersebut.
Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nasrullah MSi mengatakan masyarakat sudah tak lagi menganggap peristiwa pemberontakan G30S/PKI merupakan peristiwa sakral yang harus diingat.
”Peringatan pemberontakan G30S/PKI merupakan sakralisasi peninggalan zaman Orde Baru (Orba). Sekarang eranya sudah reformasi dan masyarakat cenderung mempertanyakan kembali jargon-jargon yang dulu sering disakralkan rezim Orba,” kata Nasrullah kepada Surya online melalui sambungan telepon, Selasa (30/9/2014).
Peristiwa ini, lanjutnya merupakan hegemoni opini rezim Orba yang pada masanya mampu mengukuhkan legitimasinya sebagai pihak yang berkuasa. Sementara, zaman sekarang opini sangat terbuka. Bahkan beberapa kelompok masyarakat mulai mempertanyakan keabsahan peristiwa pemberontakan G30S/PKI tersebut.
”Saya pikir, itu alasan yang menonjol mengapa masyarakat tak lagi mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September,” sambungnya.
Nasrullah yang juga menjabat sebagai Kepala Humas UMM menuturkan perlu ada kajian historis yang kredibel untuk menentukan kepastian sejarah pemberontakan G30S/PKI.
Sebab menurutnya, pada rezim Orba semua orang diharuskan memasang bendera setengah tiang tiap 30 September. Warga yang tidak memasang bendera acap kali disangka sebagai pembangkang pemerintah.
”Kalau memang peringatan ini perlu dilanjutkan, pemerintah yang sekarang harus memiliki bukti otentik kuat mengenai sejarah G30S/PKI itu agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat,” pungkasnya.