SURYAMALANG.COM, MALANG - Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus ahli pengelolaan kawasan pesisir dan lautan, Dr David Hermawan MP IPM, menyoroti soal pemagaran sepanjang 30,16 kilometer di kawasan laut Tangerang, Provinsi Banten.
Heboh berita pemagaran itu, Menteri ATR, Nusron Wahid akan mencabut sertifikat HGB dan SHM yang telah terbit antara tahun 2022-2023.
“Pagar sepanjang 30,16 kilometer ini menelan biaya hingga Rp 4-5 miliar. Angka sebesar itu jelas tidak berasal dari gotong royong masyarakat biasa."
"Ada pihak besar yang membiayai proyek ini. Alasan pencegahan abrasi menggunakan pagar bambu tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat."
"Metode yang lazim digunakan adalah breakwater atau bronjong batu, bukan pagar bambu,” papar David dalam rilis Humas UMM, Rabu (22/1/2025).
SHGB itu dimiliki perusahan besar dan perserorangan. Menurutnya, fakta ini menunjukkan bahwa proyek pemagaran ini bukan sekadar untuk konservasi lingkungan.
Tapi bagian dari rencana reklamasi besar untuk pembangunan kota baru seluas 30.000 hektar.
“Nilai ekonominya untuk penguasaan lahan bisa mencapai Rp 30 triliun," kata dia.
Namun, lanjutnya, kalau nantinya setelah reklamasi, nilai proyek ini diperkirakan mencapai Rp 300 kuadriliun. Dengan asumsi luas reklamasi 30.000 hektar atau 30 juta meter persegi, dan nilai tanah minimal Rp 10 juta per meter persegi, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai Rp 300 triliun.
Tapi nilai ekonomi itu dampaknya terhadap lingkungan laut dinilai sangat besar.
Pola arus laut akan berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan juga akan rusak.
Ia mengungkap sejumlah potensi pelanggaran prosedur. Reklamasi laut seharusnya memiliki izin resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas, serta penyesuaian tata ruang dan zonasi.
“Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus berlandaskan prinsip keberlanjutan, melindungi ekosistem, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan."
"Proyek ini melanggar prinsip-prinsip tersebut. Kawasan ruang laut tidak boleh disertifikatkan, baik berupa SHGU maupun SHM,” papar dia.
Ia berharap proyek ini sebaiknya dipertimbangkan ulang atau bahkan dihentikan karena dampaknya akan merusak ekosistem dan tatanan sosial masyarakat pesisir.
"Pemerintah harus bergerak cepat menegakkan aturan dan memastikan semua prosedur dijalankan dengan benar."
"Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, saya berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Peraturan ada untuk ditegakkan," pungkasnya.