GELAR doktor ilmu sosial, dalam bidang etika diplomasi ini diterima Priyo atas komitmen dan kontribusinya dalam aspek diplomasi selama pengabdiannya di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.
Rektor UMM, Dr. Fauzan, M.Pd. menerangkan, Priyo Iswanto patut dan layak menyandang gelar doktor berkat kapasitas intelektual dan keberhasilannya dalam menjalankan diplomasi. Salah satunya adalah perannya dalam upaya meminimalisasi tuduhan dunia akan sustainability industri sawit.
“Pemberian anugerah gelar doktor honoris kausa terhadap peran anak bangsa ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab moral kebangsaan yang dimiliki UMM. Gelar ini juga menjadi rekognisi akademik yang harus dimaknai untuk memainkan peran hidup yang bermanfaat bagi bangsa dan negara,” ungkap Fauzan.
Senada dengan Fauzan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP, Menko PMK sekaligus perwakilan Badan Pembina Harian (BPH) UMM mengatakan, Priyo layak mendapat gelar ini. Ia juga menyinggung, UMM tidak gampang memberikan gelar doktor honoris kausa. Bahkan dengan usia dan reputasi yang dimiliki, UMM baru memberikan gelar ini kepada tiga orang saja.
“Peranan Pak Priyo ternyata tidak hanya meyakinkan pasar akan kedudukan sawit, tapi juga mencoba menggandeng kekuatan-kekuatan yang belum terbangun di dunia dalam aspek kelapa sawit. Taktik ini sangat jitu untuk menghadapi tantangan yang ada di pasar global,” jelas Muhajir.
Dalam orasi ilmiahnya, Priyo menjelaskan, terkait strategi meningkatkan reputasi kelapa sawit, khususnya dari perspektif tujuan pembangunan dan berkelanjutan (SDGs) plus, a menerangkan, kelapa sawit bisa dilihat dan dipahami melalui empat dimensi, yakni dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, serta moral.
Dari aspek ekonomi misalnya, kelapa sawit dinilai menjadi faktor penting dalam menekan angka kemiskinan dan mengurangi kelaparan. Selain itu juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan yang layak. Kelapa sawit juga mampu membantu mengurangi kesenjangan sosial antara penduduk kota dan desa. Menjamin kualitas dan standar kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, kelapa sawit juga tidak lepas dari tuduhan negatif. Padahal, faktanya kelapa sawit memerlukan lahan yang lebih hemat ketimbang kedelai maupun kanola. Kelapa sawit juga menyumbang emisi gas karbondioksida yang hanya menyumbang 5%. “Menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI), kelapa sawit justru menyerap 161 ton karbondioksida dan menghasilkan oksigen sebanyak 18,7 ton/ha per tahun,” tuturnya lebih lanjut.
Sebagai Dubes RI untuk Kolombia, pria kelahiran Kudus ini juga telah berprakarsa kepada Kolombia untuk menjadi anggota Dewan Negara Produsen Sawit (CPOPC). Diyakini, bergabungnya Kolombia mampu memperkuat CPOPC dan dukungan untuk melawan kampanye hitam terhadap komoditas minyak sawit dunia.
Priyo kembali menjelaskan, meski telah tercapai kesepakatan antara ASEAN dan Uni Eropa tentang isu kelapa sawit yang dikaitkan SDGs, namun kampanye positif penghasil kelapa sawit masih harus terus dilakukan. Harapannya, publik bisa semakin percaya bahwa komoditas ini sebenarnya memiliki banyak nilai positif dan manfaat. (div//mat)