Penulis: Oktavia Arina Haqqo (Mahasiswi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)
Pengolahan limbah industri atau domestik menjadi masalah berat terutama di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang besar. Semakin besar jumlah penduduk, maka sampah yang dihasilkan akan semakin banyak. Kasus ini biasanya banyak ditemukan pada kota-kota besar dengan arus urbanisasi yang tinggi. Sehingga penumpukan sampah berlebih seringkali hanya ditemukan di beberapa kota tertentu khususnya di daerah ibu kota. Limbah B3 juga menjadi tantangan bagi pemerintah di wilayah industrialisasi. Selain berbahaya, limbah ini juga sulit untuk diolah, Sehingga solusi utamanya adalah dengan mengurangi bahan-bahan berbahaya pada produksi pabrik.
Dibentuk pada tahun 1997 di Kota Kitakyushu, program Eco-Town telah banyak memberi perubahan pada masalah lingkungan di kota tersebut. Sebelumnya, di tahun 1950-an kota ini mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah. Laut Dokai Bay dijuluki sebagai Sea of Death karena memiliki warna air yang keruh. Gerakan perempuan lokal bersama-sama membuat petisi untuk mengembalikan langit kota menjadi biru yang saat itu ditutupi oleh asap tebal pabrik. Kampanye ini tertuang dalam film produksi mereka yang berjudul ‘Aozora ga Hoshi’ atau We Want Blue Skies.
Sejarah Program Eco-Town
Eco-Town dibentuk sejak tahun 1997 di Kota Kitakyushu, tepatnya di Pulau Kyushu bagian Utara Jepang. Pendirinya berasal dari berbagai kalangan yaitu Kitakyushu Environmental Industry Promotion Council, perusahaan Nippon Steel Yawata, Mitsui & Co., Ltd., Toshiba, Hitachi, akademisi, pimpinan Departemen Industri Ekonomi Kyusu, dan Gubernur Fukuoka. Program ini memiliki misi untuk mengembalikan kondisi lingkungan di kota tersebut akibat polusi yang dihasilkan oleh limbah industrial. Tiga strategi utama yang dilakukan adalah dengan edukasi dan riset dasar, pengembangan teknologi, serta industrialisasi. Pada tahun 1969 hingga tahun 1972, pemerintah kota Kitakyushu melakukan penandatangan “Pollution Control Agreements”. Perjanjian ini berisi kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pengontrolan terhadap polusi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik.
Kemudian pada tahun 1980, mulai dibentuk institusi pelatihan khusus pengolahan lingkungan Kitakyushu International Techno-Cooperative Association (KITA). Tidak lama setelahnya di tahun 1989 dibentuk program bantuan pemerintah khusus lingkungan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Kyushsu International Center (KIC). Sebelum menjalin kerjasama bersama kota Kitakyushu, kota-kita terkait perlu melalui berbagai tahapan. Tahap pertama adalah dengan melakukan penelitian untuk menemukan masalah lingkungan yang terjadi. Selanjutnya pertukaran pengetahuan atau transfer-knowledge kepada semua elemen masyarakat termasuk staf pemerintah daerah dan pengusaha-pengusaha lokal melalui seminar untuk bersama-sama menemukan solusinya. Setelah semua tahapan dilakukan, maka JICA dapat memberikan bantuan secara finansial maupun melalui tranfer technology. Terdapat 4 jenis perusahaan atau sektor privat yang dibangun untuk membantu pengolahan daur ulang limbah sampah dan beberapa diantaranya sudah tersebar di kota-kota di Asia seperti Kota Surabaya dan Kota Cebu.
1. Automotive Recycling, milik West Japan Auto Recycle Co., Ltd. (WARC) dibentuk pada Januari 2000 merupakan pengolahan daur ulang khusus mesin kendaraan seperti mobil yang berbahan metal, plastik dan gelas.
2. Electric Home Appliances Recycling, milik Nishinihon Kaden Recycle (NKRC) dibentuk pada April 2000 merupakan pengolahan daur ulang khusus TV Sets, Mesin Cuci, Pendingin Ruangan dan Kulkas.
3. Flourescent Tube Recycling milik J. Relight dibentuk pada Mei 2000 merupakan pengolahan daur ulang khusus kaca lampu. Perusahaan ini biasa menerima limbah dari berbagi sektor mulai dari kantor pemerintah, perusahaan besar atau kecil, rumah-rumah serta sekolahan.
4. Composting milik Merry Time Foods Co., Ltd. merupakan pengolahan daur ulang khusus limbah rumah tangga. Namun masyarakat Jepang telah melakukan sistem komposting sendiri sehingga perusahaan ini hanya menerima 39 persen dari keseluruhan limbah organik di Kota Kitakyushu.
Penerepan Program Eco-Town
Sejak diterapkannya program eco-town, Kitakyushu kembali bangkit dari masalah lingkungan yang dihadapi. Bahkan kota-kota di Jepang lainnya seperti Lida, Kawasaki, Gifu, Ohmuta, Sapporo, Chiba, Akita, Uguisuzawa, Hokkaido, Hiroshima, Kochi, Minamata, Yamaguchi, Naoshima, Toyama, Aomori, Hyogo, Tokyo, Okayama, Kamaishi, Aichi, Suzuka, Osaka, Yokkaichi dan Ehime juga menerapkan program ini. Sejak kedatangan Kanzuo Matsuyana, Manager of Enviromental Policy pada Mei 1996, program Eco-Town berhasil mendapat dukungan subsidi sebesar 5% dan 2,5% untuk pengolahan kota. Eco-Town menjadi program pertama pemerintah daerah yang mendapat bantuan subsidi dari pemerintah pusat Jepang.
Faktor utama keberhasilan eco-town dalam menangani masalah lingkungan di Kitakyushu adalah karena dukungan dari pemerintah lokal serta kesadaran perusahaan-perusahaan dan masyarakatnya. Kebijakan pemerintah yang pro terhadap lingkungan menjadi kunci utama program ini dapat berjalan. Pemerintah menerapkan sistem pengolahan limbah pembuangan sampah dengan konsep 3R (Reduce,Reuse,Recycle).
Menurut data ENF terdapat sekitar 121 pabrik daur ulang plastik yang mengelola sampah plastik menjadi bahan baru. Di tahun 2019 saja Jepang telah memproduksi 9 juta ton plastik bekas industri dan rumah tangga untuk digunakan kembali. Edukasi masyarakat terhadap sampah daur ulang juga sangat dibutuhkan mengingat sampah adalah masalah terdekat bagi mereka. Untuk itu, proses pemilahan sampah mandiri menjadi penentu keberhasilan program ini. Selain penyediaan tempat sampah atau tong sampah sesuai jenisnya, adapun plastik khusus tempat pembuangan limbah rumah tangga. Bahkan pembuangan sampah telah terjadwal dengan baik supaya tidak terjadi penumpukan sampah berlebih. Pemerintah juga membuat aturan untuk mengembalikan sampah yang tidak mentaati prosedur pembuangan sampah dengan menempelkan stiker merah mencolok pada plastik sampah
Pasca perang dingin, teori paradiplomasi telah banyak berkembang sebagai wujud era globalisasi dan regionalisasi. Aktor sub-nasional seperti provinsi, daerah, pemerintah lokal dan kota dapat melakukan aktivitas internasional. Pada tahun 2007 Jepang – Cina menandatangani perjanjian kerjasama bilateral. Terpilih tiga kota (Qingdao, Tianjin dan Dalian) untuk menerapkan kerjasama sister-city bersama kota Kitakyushu. Sebagai contoh berikut lima poin yang diadopsi kota Qingdao dari kerjasama Eco-Town. Poin pertama adalah kerjasama dalam perencanaan pengembangan indsutri daur ulang. Kedua memperkenalkan teknologi serta fasilitas pengolahan limbah rumah tangga. Ketiga mempertimbangkan potensi kerjasama dengan industri daur ulang yang telah ada di Qingdao. Keempat mengadakan kunjungan ke Jepang untuk mengadakan pelatihan khusus kepada pejabat kita dan pihak terkait dari perusahaan. Terakhir yaitu melakukan pengiklanan proyek kerjasama di Jepang dan Cina.
Kota-kota di Asia lainnya juga menjadi target kerjasama penerapan program eco-town. Seperti contoh kerjasama Kitakyushu bersama beberapa kota di Indonesia. Salah satunya Semarang The Tofu Project, merupakan bentuk solusi yang dirancang untuk mengurangi pencemaran sungai akibat limbah pembuangan air bekas pabrik tahu. Misi utama dalam program eco-town adalah dengan memperbaiki metode proses pembuangan limbah pabrik dengan benar tanpa mencemari lingkungan sekitar. Selanjutnya kota lain di Indonesia yang bekerjama dengan kota Kitakyushu adalah Surabaya, Makassar, Palembang, Jakarta Pusat, Balikpapam dan Tarakan. Kota-kota tersebut menerapkan Solid Waste Management atau sistem pengolahan limbah organik menjadi kompos. Program ini juga diikuti oleh kota Cebu, Filipina dan Bangkok, Thailand.
Solid Waste Management merupakan program pengolahan sampah organik sisa limbah rumah tangga. Program ini mengajak masyarakat setempat memanfaatkan limbah rumah tangga untuk dijadikan pupuk kompos. Selanjutnya dari hasil pengolahan tersebut akan digunakan untuk media tanam di lingkungan sekitar. Sehingga adanya program ini dapat menambah suasana lingkungan hijau yang segar.
Sampah menjadi permasalahan lingkungan yang seringkali dianggap sebagai hal remeh oleh masyarakat. Jumlah penumpukan sampah semakin bertambah setiap tahunnya. Butuh waktu lama agar sampah-sampah dapat terurai. Untuk sampah organik dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dapar terurai. Sampak kertas dibutuhkan waktu hingga enam bulan lamanya. Untuk kantong plastik dibutukan waktu selama 12 tahun dan botol plastik selama 20 tahun. Sedangkan untuk sterofoam membutuhkan waktu hingga 500 tahun untuk dapat terurai. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr Costas Velis dari Universitas Leeds, sebanyak 1,3 miliar ton sampah plastik akan mencemari daratan dan lautan pada tahun 2040 medatang. Jika tidak ada kesadaran masyarakat terhadap bahaya sampah, maka bukan tidak mungkin bumi akan kehabisan lahan atau tempat untuk menyimpan sampah. Sehingga perubahan melalui program yang diusung oleh eco-town dapat menjadi kesempatan kota-kota didunia dalam memperbaiki masalah lingkungan.
Referensi
IGES, 2010. Composing for Waste Reduction Informan Kit. Kitakyushu : Institute for Global Enviromental Strategies (IGES)
Shiroyama, Hideaki dan Kajiki, Shinya, 2016. Case Study of Eco-town Project in Kitakyushu: Tension Among Incumbents and the Transition from Industrial City to Green City. Tokyo : Springer