Jika agama diseminarkan

Author : Humas | Sabtu, 21 Mei 1988 12:56 WIB | Tempo Online - Tempo Online

KALAU diingat-ingat, penasaran -- akademis yang dirasakan oleh Prof. Mukti Ali ketika ia menjabat Menteri Agama bisa juga menimbulkan simpati. Coba saja pikir. Ia baru saja "memenangkan" suatu argumentasi, bahwa agama itu (khususnya Islam) bukan saja harus diyakini dan diamalkan, tetapi bisa pula, bahkan perlu, diteliti. Serta merta ia menghadapi masalah yang pelik. Jika memang demikian halnya apakah telah tersedia perangkatan metodologisnya? Kalau "penelitian sosial" sudah jelas masalahnya, meskipun di antara para ilmuwannya selalu timbul cekcok. Tetapi bagaimana dengan "penelitian agama"? Bukankah agama tak dapat diperlakukan hanya sebagai kenyataan empiris belaka? Hakikat agama sesungguhnya terletak pada sesuatu yang "melampaui" kenyataan empiris itu. Bukankah pula agama itu adalah sesuatu yang menyangkut keyakinan manusia yang paling dalam? Di manakah batas antara keyakinan yang subyektif dan penelitian yang semestinya rasional dan obyektif? Masalahnya tambah repot, karena waktu itu terasa seakan-akan tak ada contoh yang bisa dipakai sebagai pedoman.

 

Hasil karya pakar-pakar Barat umumnya mempunyai kecenderungan "Orientalistik". Entah sengaja entah tidak, mereka bersikap negatif terhadap keyakinan "kita". Jadi, bukannya kebenaran, tetapi distorsi, yang akan dldapatkan. Bagaimana hasil karya para pakar seagama? Yang lebih banyak muncul adalah ekspose tentang apa ajaran itu sesungguhnya dan bagaimana menghayatinya. Jarang, jikapun pernah, yang mencoba melihat agama sebagai keyakinan subyektif yang telah diobyetivikasi-kan. Setidaknya begitulah tampak-tampaknya kesan yang didapatkan, dulu.

 

Kegelisahan atau penasaran akademis dapat saja berlanjut, tetapi pencarian dan percobaan harus terus diusahakan. Karena itu, tak mengherankan kalau dalam seminar yang diadakan baru-baru ini di Universitas Muhammadiyah Malang, Pak Mukti Ali tak lagi sibuk mempertanyakan, tetapi telah mengajukan usul metodologis tertentu. Para peserta lain juga demikian. Bahkan mereka juga menyampaikan hasil yang telah didapatkan. Namun, impian yang pernah terimpikan akan adanya perangkatan metodologi penelitian agama yang tunggal tinggallah tetap impian belaka. Ketika Pak Mukti Ali membuat ancang-ancang dengan mengatakan agama (mengikuti Rudolf Otto) sebagai hubungan dengan Yang Mahakuasa, yang diliputi misteri mempesona dan menimbulkan rasa takut, maka ia sebenarnya berada dalam suasana history of religions atau Religionwisschenchaft alias perbandingan agama yang mencari pemahaman hakikat agama dan keyakinan religius.

 

Sewaktu Nurcholis Madjid dan Ahmad Azhar Basyir membicarakan "Studi Islam Klassik", mereka telah memasuki wilayah "sejarah pemikiran". Wilayah ini pula yang dimasuki Syafii Maarif, yang ingin memperlihatkan "posisi sentral al-Qur'an dalam studi Islam". Ketiganya lebih sibuk menelusuri pergolakan dan perkembangan pemikiran tentang aspek-aspek tertentu dari doktrin. Tetapi tak demikian halnya dengan Quraisy Syihab, meskipun ia membicarakan hal yang sama. Jika memakai istilah dari tradisi . akademis Islam, ia melihat permasalahannya dari sudut pendekatan ilmu tafsir atau, dengan istilah lain, metode kritik teks. Bagaimanakah teks suci harus dipahami? Bukankah teks, seperti saya katakan dalam seminar itu (dengan meniru Paul Ricoeur), adalah "penghambat" terlaksananya dialog langsung antara pemberi dan penerima pesan? Bukankah pula kita, yang dipakai teks sebagai alat untuk "memperabadikan" pesan itu, tidaklah sekadar kata dalam pengertian kamus, tetapi simbol - mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Jika telah begini keadaannya, masalah konteks pun tak bisa diabaikan. Keragaman ini terus berlanjut. Apalagi ketika Abdullah Fadjar mengajukan pendekatan kuantitatif sebagai "metode penelitian agama".

 

Dalam semangat empiris-positivistik ini ia sebenarnya mengusulkan cara pendekatan untuk menjawab masalah-masalah yang diajukan Jalaluddin Rahmat, yang menekankan aspek religiousity (keberagamaan), sebagai sasaran penelitian. Dengan pendekatan kuantitatif, sikap dan tingkat keterikatan pemeluk agama terhadap berbagai dimensi agama lebih mungkin untuk ditakar. Secara akademis, tiap pendekatan ini sah dan dapat dibenarkan. Jadi, kelihatanlah bahwa metode penelitian agama itu bersifat majemuk, sebagaimana juga agama harus didekati secara aspektual. Akhirnya, memang harus disadari bahwa menjadikan agama sebagai sasaran penelitian akademis sebenarnya bertujuan untuk mendapatkan kebenaran empiris, tidak kebenaran doktrin dan bukan pula kebenaran mistis.

 

Kedua hal ini memerlukan prasyarat lain. Tetapi bukankah meneliti tak sekadar pemenuhan rasa ingin tahu? Dalam hal ini kemampuan merumuskan pertanyaan, yang merupakan awal dari segala corak penelitian, memegang peranan penting. Karena itulah sejak semula pertanyaan tersebut semestinya bercorak reflexive, yang ditanya obyek, tetapi yang dituju subyek. Dengan bertanya, keprihatinan bisa disalurkan. Dengan meneliti, strategi ke arah pencapaian cita-cita lebih dimungkinkan.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1988/05/21/KL/mbm.19880521.KL27273.id.html
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler