Gema takbir memenuhi dome kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur. Rosyad Sholeh, ketua pa nitia pemilihan dalam Muktamar Muhammadiyah keH-45, mengumumkan Din Syamsuddin terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010.
"Hidup Din Syamsuddin! Allahu Akbar, Allahu Akbar!" suara dari ribuan peserta muktamar saling menimpali, Kamis pekan lalu. Muktamirin meluapkan kegembiraan dengan bersalaman dan saling berpelukan sembari melepas senyum. Peserta yang berusia muda lebih atraktif lagi, berjingkrak-jingkrak sembari mengumbar tawa.
Din terpilih secara aklamasi, tanpa voting, melalui rapat 13 anggota pimpinan pusat (PP) yang sekaligus menjadi tim formatur. Rosyad menggambarkan rapat tersebut berlangsung penuh senyum, gembira, dan damai. "Tak ada tekanan dari pihak mana pun," katanya.
Acara muktamar yang berlangsung enam hari hingga Jumat pekan lalu memang berlangsung mulus. Tetapi langkah Din menuju posisi puncak persyarikatan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan 92 tahun lalu di Kampung Kauman, Yogyakarta, itu tidaklah mudah.
Din bukanlah peraih suara terbanyak pada Sidang Tanwir-institusi pengambil keputusan di bawah muktamar-yang berlangsung sehari menjelang perhelatan akbar itu. Saat itu 159 orang yang terdiri dari anggota pimpinan pusat, pimpinan wilayah, dan organisasi otonomi menuliskan 39 nama yang akan dipilih sebagai anggota PP Muhammadiyah pada saat sidang pleno muktamar. Saat itu, nama Din hanya menempati urutan ketiga di bawah Haedar Nasir (Sekretaris Muhammadiyah) dan Rosyad Sholeh (Wakil Ketua Muhammadiyah).
Pada sidang pleno Rabu pekan lalu, yang diikuti seluruh peserta muktamar, 39 nama itu lalu diperas menjadi 13 untuk dijadikan anggota PP. Saat itulah muktamirin memberikan suara terbanyak bagi Din Syamsuddin. Pada urutan berikutnya, Haedar Nasir, Muhammad Muqoddas, dan Malik Fadjar. Kemenangan ini menunjukkan popularitas Din di tingkat bawah.
Tapi masalah belum selesai bagi Din. Soalnya, ketua umum dipilih melalui sidang formatur 13 dan tidak ada aturan peraih suara terbanyak yang akan jadi ketua. Pendukung Din gusar. Apalagi komposisi anggota PP yang baru dikuasai kubu yang berseberangan dengan Din Syamsuddin. Mereka khawatir persaingan terselubung antara kubu Jakarta dan Yogyakarta, sekaligus kubu generasi muda dan generasi tua, akan menjegal langkah Din. Kelompok Yogyakarta, yang terdiri dari Haedar Nasir, Rosyad Sholeh, dan Dahlan Rais, disokong penuh mantan Ketua Umum Muhammadiyah Amien Rais dan Syafi'i Ma'arif.
Dari Jakarta, Din Syamsuddin membawa gerbong anak-anak muda. Mereka antara lain Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Nasyiatul Aisiyah (NA), dan Pemuda Muhammadiyah. Masalahnya, kelompok ini tidak terlibat dalam rapat formatur. Tetapi mereka tak kehabisan cara. Menjelang rapat formatur, mereka mendesak anggota PP memilih peraih suara terbanyak sebagai ketua umum. "Formatur hendaknya konsisten, perolehan suara terbanyak berhak menjadi ketua," kata Ketua Pemuda Muhammadiyah, Abdul Mu'ti.
Desakan ini membuat gerah anggota PP lainnya. Salah satunya Haedar Nasir, yang menyesalkan tindakan beberapa pimpinan wilayah dan organisasi otonom yang mencampuri tugas tim formatur. "Siapa saja berpeluang (jadi ketua)," kata Haedar.
Penggalangan kubu Yogyakarta, yang menjagokan Rosyad Sholeh, memang bikin Din cs gemetar. Apalagi dari Yogyakarta ada Amien Rais dan Syafi'i Ma'arif, dua pentolan terpandang di Muhammadiyah. Keduanya disebut-sebut tidak happy dengan Din.
Amien tidak menyukai Din karena ia pernah menjadi Ketua Litbang Golkar, partai yang banyak menjadi obyek kritik Amien Rais. Din juga berseberangan dengan Amien saat kongres Partai Amanat Nasional di Semarang. Pria kelahiran Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, itu memilih berada di belakang Muslim Abdurrahman ketika Amien Rais terang-terangan mendukung Soetrisno Bachir. Kekhawatiran terbesar Amien, Din akan menggunakan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik untuk mencalonkan diri sebagai RI-2. Seorang sumber yang dekat dengan kelompok Yogyakarta menyebutkan Amien lebih condong ke Rosyad Sholeh.
Dukungan mantan Ketua MPR ini ditunjukkan dengan menggelar sejumlah pertemuan untuk menggalang dukungan. "Semangatnya, asal bukan Din Syamsuddin," kata sumber itu. Penggalangan dukungan oleh kubu Yogyakarta bahkan telah berlangsung sejak di Hotel Cendana Surabaya, tiga hari sebelum muktamar. Pada pertemuan itu mantan Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin sebagai Ketua Koordinator Nasional Forum Komunikasi Alumni IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) mengumpulkan anggotanya. Para pendiri IMM yang turut diundang antara lain Abdul Rosyad Sholeh, Ali Hardi Kiai Demak (politisi PPP), dan Amien Rais sebagai Ketua Dewan Penasihat Alumni IMM.
Ketua Alumni IMM Jawa Timur, Farid Fathoni, sebagai tuan rumah pertemuan mengakui dukungannya kepada Rosyad Sholeh. Dia menilai Rosyad sebagai sosok apolitis yang sesuai dengan tipologi Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan. Menurut Farid, Rosyad telah lama mengurus Muhammadiyah dan dianggap sebagai figur pengayom. Sedangkan Din memiliki syahwat politik yang tinggi.
Amien Rais membantah dirinya menjadi anggota tim sukses salah satu nama calon Ketua PP Muhammadiyah. Selama muktamar, Amien menyebut nama Rosyad Sholeh, Din Syamsuddin, dan Malik Fadjar sebagai kandidat yang paling berpeluang. Dari ketiga nama itu, menurut Amien, Rosyad merupakan figur yang tanpa kontroversi, orangnya low profile, dan pekerja keras.
Tentang sosok Din Syamsuddin, Amien menilainya sebagai tokoh gaul yang namanya sering muncul dalam ekspose di luar Muhammadiyah. Sedangkan Malik Fadjar merupakan seorang akademisi tulen yang sukses saat menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah di Malang. "Saya tak punya pretensi apa pun terhadap ketiga nama itu, biar muktamar yang menentukan," katanya. Amien membantah dirinya melakukan sejumlah pertemuan untuk menggalang dukungan kepada salah satu calon.
Upaya menggeser Din terjadi sehari menjelang muktamar dibuka. Muktamirin dikejutkan dengan munculnya ratusan buku yang diletakkan di depan pintu kamar penginapan yang berlokasi di kampus III UMM. Entah siapa yang mengirim, buku berjudul Dien Syamsudin: Sang Ambisius Penghancur Muhammadiyah itu diletakkan dalam sebuah kotak karton bekas bungkus mi instan. Pendukung Din akhirnya membakar buku yang sempat beredar di arena muktamar itu.
Bukan hanya kubu Yogyakarta, kubu Din tak kalah rajin menggalang kekuatan. Mereka bertemu dengan kalangan muda Muhammadiyah di Hotel Regent, Malang. Pasukan muda, baik yang berasal dari pengurus wilayah, organisasi otonomi, maupun yang berasal dari kaum profesional, bergerak lincah melobi pengurus lainnya. Langkah mereka bahkan lebih tampak di arena muktamar.
Mereka memboyong isu bahwa Muhammadiyah di masa depan membutuhkan figur pemimpin yang masih muda, ulama, intelektual, dan populis. "Din Syamsuddin adalah figur yang tepat memimpin Muhammadiyah," kata Ketua Pemuda Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menjelang pemilihan 13 formatur.
Din juga pandai mengambil kesempatan. Saat Amien Rais sedang berkeliling melihat-lihat stan pameran di arena muktamar, kedua tokoh dari kubu yang berseberangan itu bertemu di gerai penjual peci. Din memamerkan kedekatannya dengan Amien Rais: di depan ratusan pasang mata, dia memasangkan peci ke kepala Amien.
Amien terjepit: bagaimanapun ia harus menunjukkan sikapnya sebagai demokrat. Ia lalu membalas dengan memasangkan peci ke kepala Din. "Din pandai menangkap momen itu sehingga publik mengartikan mahkota Muhammadiyah telah bergeser dari Amien ke Din," kata seorang sumber yang dekat dengan Amien. Katanya, momen itu memang sudah dirancang tim sukses Din.
Lepas dari "diplomasi peci" itu, sukses Din meraup dukungan sidang pleno juga disebabkan oleh rajinnya dia mengunjungi wilayah dan daerah. Kapasitasnya sebagai Wakil Sekretaris MUI memberi peluang besar turun ke kampung-kampung. Dia menjadi figur yang paling dikenal warga Muhammadiyah sejak muktamar lima tahun lalu.
Terpilihnya masinis baru Muhammadiyah ini memunculkan harapan dan kekhawatiran. Salah satu kecemasan datang dari Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Zuly Qodir. Kelompok anak muda Muhammadiyah yang mengusung paham liberal ini melihat Din sering kali menampilkan diri sebagai sosok Islam fundamental yang radikal. Ini sangat berbeda dengan sosok Syafi'i Ma'arif yang lebih akomodatif. Zuly berharap 12 anggota PP lainnya bisa menjadi penyeimbang.
Yang juga bikin deg-degan adalah apakah Din bisa tahan terhadap tarikan-tarikan kepentingan politik. Posisi Ketua PP Muhammadiyah sangat rawan membangkitkan syahwat politik. "Paling tidak, tahun 2009 pasti akan ada tawaran Ketua PP untuk menjadi calon wakil presiden," kata Zuly.
Din Syamsuddin tak secara gamblang menjawab persoalan godaan politik itu. Menurut dia, Muhammadiyah berhubungan dengan semua sisi kehidupan termasuk politik. "Politik Muhammadiyah adalah politik dakwah atau politik amar makruf dan nahi mungkar," katanya.
Kini Din telah terpilih memimpin persyarikatan yang diyakini memiliki sekitar 20 juta anggota. Organisasi ini telah berkembang pesat dengan mengelola 17 perguruan tinggi, 18 rumah sakit besar, ratusan balai kesehatan, 5.000 sekolah, serta ratusan unit usaha. Sebuah kendaraan yang nyaman.