"LENGKAPI koleksi tanaman Anda dengan yang eksklusif." Begitu bunyi iklan di sebuah majalah. Eksklusif karena memang bukan sembarang tanaman. Umurnya bukan hanya puluhan, bahkan ratusan tahun. Tanaman itu namanya bonsai. Bonsai bersilsilah ke Negeri Cina. Konon, itu lebih dari seribu tahun silam, walau pohon itu berkembang pesat di Jepang. Harga tanaman ini mahal, tetapi enak dipandang - meski di ruangan sumpek. Dan boleh jadi penjual bonsai lebih untung ketimbang menanam padi dalam beberapa hektar.
Bonsai itu nyaris mirip "barang seni" seperti lukisan, misalnya. Pembeli, jika sudah gandrung, tak bakal menawar-nawar harganya. Maka, tak heran kalau Husaein, 35 tahun, yang awalnya memang penggemar bonsai, lalu berani mengeluarkan Rp 30 juta untuk berdagang pohon kate itu. Sejak 1977 ia sudah berburu bonsai. Dengan sebuah truk, Husaein yang dari Pasuruan, Jawa Timur, itu menjelajahi pelosok desa dan hutan. Dan karena tak gampang mendapatkan bonsai, ia bahkan melanglang sampai ke Madura.
Terkadang Husaein terpaksa meninggalkan keluarga sampai sebulan lamanya. Paling-paling ia hanya dapat satu-dua tanaman yang berbakat dibonsai. Padahal, biaya yang ia keluarkan sampai Rp 200 ribu. Kini Husaein jadi pemilik ratusan bonsai. Dari koleksinya itu ada bonsai beringin, lendepan, sisir, serut. "Tapi jenis tersebut sekarang sulit didapat, apalagi di Pasuruan belum ada orang yang bisa membudidayakan serut," tuturnya. Serut langka? Kepala Cabang Kebun Raya Purwodadi, Ir. Soejono, memang belum bisa memastikannya.
Tapi dia mengakui bahwa serut bisa terancam punah karena semakin banyak orang mencarinya. Ketua Asosiasi Petani dan Pengusaha Bonsai Pasuruan, Soenardi, juga ikut mengkhawatirkan keadaan itu. Indikasinya: tanaman yang termasuk suku Moraseae dari famili Streblus itu makin melambung harganya. Serut setinggi 30 cm sekarang gampang laku sekitar Rp 1 juta. Apalagi seperti serut milik Husaein, yang dia katakan berumur sekitar 50 tahun itu. "Kalau ada yang menawar sampai Rp 5 juta tidak akan saya berikan," kata pedagang itu. Sekarang ia sudah punya enam perawat koleksi bonsainya.
Pembelinya tidak hanya dari Pasuruan dan sekitarnya saja. Pencinta bonsai dari Surabaya, Jakarta, banyak pula yang mengambil bonsai dari dia. Menjual bonsai memang tidak seperti menjual suplier atau anggrek. Pengalaman Husaein, setidaknya ia merawat dua tahun sebelum bonsainya laku. Selama itu ia seperti mengadopsi bocah manusia. Secara berkala tanahnya disiram, dipupuk, dan diganti. Daun-daun sering dicukuri, dibentuk, sesuai dengan imajinasi. Pertumbuhan batangnya diatur - dibiarkan tegak atau miring bengkok-bengkok. Bila perlu: boleh dipangkas, digergaji, atau dibor. Dan batang penopangnya dapat dibiarkan tinggal satu atau dua. Maka, tidak heran jika ada penggemar memberi julukan bonsai Husaein dengan: "Suami-istri yang sedang berkasihkasihan". Itulah bonsai yang batangnya bercabang dua. Satu cabang tak jauh di atas cabang lainnya, berdaun, menggerombol dan itu memang membangkitkan kesan "suami-istri yang sedang akrab" berkasih-kasih.
Tiap bonsai memang bisa menerbitkan imaji yang berbeda-beda. Misalnya landepan, Barleria Prionitis L., yang berdaun hijau kecil-kecil dengan batang memutih tapi miring menjulur itu. Akarnya menggelembung aneh pada arah berlawanan dengan arah miringnya batang - berkesan memperkuat batangnya. Imajinasi lantas digiring ke sebuah pinggir sungai yang jernih airnya. Tanaman itu jadi peneduh bagi orang di bawah pohon. Padahal, itu bonsai. Khasanah flora akan habis jika kebanyakan dibonsai, seperti serut.
Di alam terbuka, pohon serut yang hidup setinggi beberapa meter di tanah berpadas itu sebenarnya tidak kalah anggun dengan yang sudah dibonsai. Daya hidupnya yang melampaui batas usia manusia - berbatang putih dan daun menggerombol - lebih kelihatan alami. Dan itu menggetarkan jiwa, untuk mengingat Sang Pencipta. Serut yang dibonsai mungkin tak jadi soal kalau terjamin hidupnya. Tapi, menurut Husaein, dari 100 tanaman yang diambil dari alam bebas, kalau bisa hidup dibonsai 25 saja sudah bagus. Karena itu, kalau ditawari bonsai, lebih baik dia membeli informasinya saja.
Sedankan penambilan tanamannya bisa ia lakukan sendiri. Membeli dari pedagang biasanya selaluada risikonya. Maklum, tak semua orang mengerti. Lagi pula, menggali tanaman calon bonsai itu harus sabar. Mengambil pohon serut, misalnya, harus digali melingkar di seputar akar. "Setelah seminggu keluar akar serabutnya, barulah pohon itu bisa diambil," kata Husaein. Biasanya itu dilakukan pada musim hujan.
Serut sulit diambil dari padas di saat kemarau. Karena sudah semakin langka, di Jawa Timur, yang sekarang masih ada hujan, juga sulit ditemukan jenis serut, landepan, dan sisir. Ini gara-gara si pemburu tanaman itu kian banyak. "Kalau perburuan jenis tanaman itu tidak segera dicarikan penghambatnya, jenis tanaman itu bakal pah," kata Soenardi. Soejono yang tadi - insinyur pertanian lulusan Universitas Muhammadiyah Malang - belum pernah secara khusus meneliti jenis tanaman serut. Dan dia memang belum tahu bagaimana membudidayakan pohon tersebut.
Kelangkaan dan keadaan sulit itu memang diharapkan oleh pedagang bonsai seperti Husaein. "Bonsai jenis serut, landepan, sisir, punya prospek bagus," katanya. Apalagi peminatnya tambah beibun. Tahun ini ia mengharapkan modalnya sudah kembali. Maklum, di saat orang tergila-gila tetapi sulit mencari, Husaein justru menyimpan 400 pohon serut.