T.S. Hendra Prasetya K alias Hendro, pemilik Kedai Buku Semut Alas di Kota Malang pada Senin, 5 Juni 2023. TEMPO/Abdi Purmono
TEMPO.CO, Jakarta - Hendro selalu menawarkan segelas kopi gratis kepada orang-orang yang mengunjungi Kedai Buku Semut Alas. Bila pengunjung berkenan, wedang kopi panas dibuatkan.
Kebiasaan itu diamalkan Hendro sejak awal mendirikan toko buku di tepi Jalan Raya Tlogomas 18, RT 05/RW 07, Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, tahun 2014.
“Aku tidak merasa rugi sama sekali karena menyediakan kopi gratis. Toh, tidak semua orang suka ngopi dan yang datang juga tidak banyak. Tidak masalah juga jika pengunjung pulang tanpa beli buku setelah minum kopi. Hitung-hitung menyenangkan orang dan menambah teman,” kata Hendro kepada Tempo, Senin sore, 5 Juni 2023.
Toko bukunya semula berwujud kedai mungil. Sekarang, Hendro menempati rumah-toko (ruko) miliknya sendiri seluas 27 meter persegi. Rukonya memanjang dengan deretan rak buku di kanan dan kiri dinding. Di tengah ruangan terdapat rak buku kecil beroda yang gampang digeser saat Hendro mengadakan sebuah diskusi.
Hendro kelahiran Malang, 16 Februari 1988. Ia ogah menyebutkan nama aslinya yang panjang: T.S. Hendra Prasetya K. Cukup panggil nama kecilnya saja.
Pendirian Kedai Buku Semut Alas dilatarbelakangi oleh kesusahan Hendro mendapatkan buku-buku humaniora dan sosial politik alternatif bertema kritis dan progresif saat jadi mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kesulitan ini ia alami sejak awal masuk UMM tahun 2007 hingga 2009.
“Dulu, aku terpaksa harus ke Yogyakarta untuk dapatkan buku-buku humaniora, seperti filsafat, sejarah, dan budaya, serta buku sospol yang bagus-bagus sesuai minatku. Waktu itu belum ada pemesanan online dan teknologi komunikasi belum secanggih sekarang. Memang ngabisin waktu dan uang, tapi mau gimana lagi, aku sudah terlanjur gandrung baca buku,” kata Hendro.
Kesulitan itu merangsang keinginan punya toko buku sendiri setamat kuliah. Seingat Hendro, niat mendirikan toko buku muncul tahun 2008. Namun, setelah diwisuda pada 2014, Hendro malah bimbang saat punya tabungan sekitar Rp 20 juta karena harus memilih antara melanjutkan studi S2 atau buka toko buku.
Akhirnya, ia urung melanjutkan studi magister. Uang tabungan ia gunakan untuk mendirikan Kedai Buku Semut Alas dekat kampus UMM.
“Aku harus buat keputusan yang berat. Aku mikirnya waktu itu bisnis toko buku punya prospek bagus untuk jangka panjang. Aku tak perlu sewa tempat. Aku bisa menyediakan buku-buku yang dibutuhkan dosen dan mahasiswa, sekaligus bisa meneruskan hobiku membaca,” ujar bekas anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini.
Nama Semut Alas secara harfiah berarti semut hutan. Nama ini dipilih karena Hendro suka masuk hutan dan naik gunung dengan membawa buku bacaan. Alasan kedua, semut selalu berkerubung dan Hendro berharap buku bisa mengumpulkan orang-orang.
T.S. Hendra Prasetya K alias Hendro, pemilik Kedai Buku Semut Alas di Kota Malang pada Senin, 5 Juni 2023. TEMPO/Abdi Purmono
Beberapa kawan di IMM ikut membantu Hendro di awal merintis usaha. Hendro belajar mengatasi beragam kesulitan, seperti modal, fluktuasi harga buku, serta menyusun strategi pemasaran. Bahkan, saat usaha tokonya berjalan, Hendro pernah ditipu orang sehingga merugi puluhan juta. Ia pun pernah dipukul orang.
Sebelum toko berdiri, Hendro rajin mencatat alamat kantor, alamat surat elektronik, dan nomor telepon kantor sejumlah penerbit yang tertera pada lembar kredit buku. Maklum, saat itu media sosial belum meraja.
Ada sekitar 100 penerbit yang dihubungi Hendro untuk diajak kerja sama. Mayoritas penerbit di Pulau Jawa—khususnya Yogyakarta dan Bandung—dan selebihnya di Sumatera. Hendro memprioritaskan penerbit buku-buku kritis dan progresif kesukaannya. Sebagian besar penerbit bersedia memasok buku ke Kedai Semut Alas.
Hendro merasa lebih mudah berbisnis dengan penerbit-penerbit buku alternatif ketimbang penerbit besar. Hal ini terbukti Semut Alas sering dititipi buku untuk dijual alias pakai sistem konsinyasi.
Hendro juga berkongsi dengan penjual buku-buku lawas jika ada permintaan buku-buku klasik nan langka. Semut Alas, misalnya, masih mempunyai beberapa buku langka dengan harga termurah dibanderol Rp 250 ribu dan termahal Rp 1 juta per buku. Hendro mencontohkan buku Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka yang diterbitkan Teplok Press (2000).
“Untuk buku baru, harganya antara Rp 40-50 ribu per buku. Yang pasti, semua buku di sini buku asli, bukan buku fokopian atau buku bajakan baik buku baru maupun buku klasik (langka),” ujar Hendro.
Terkadang, ada saja orang-orang yang menitipkan buku pada Semut Alas untuk dijual. Pernah, seorang perempuan bercadar menitip beberapa buku untuk dijual. Padahal, tema bukunya tidak cocok dengan segmen pasar Semut Alas. Tapi Hendro tak tega menolaknya.
Siapa pun boleh menitipkan buku untuk dijual lewat Hendro meski tema bukunya tak cocok dengan pasar Semut Alas. “Jujur,” kata Hendro, “Aku gampang kasihan lihat orang, terlebih yang senasib denganku, dan aku percaya tiap buku punya pasarnya sendiri.”
Hendro tak ingin Kedai Buku Semut Alas hanya jadi toko buku. Maka, ia giat mendongkrak jenama atau branding tokonya dengan mengadakan kegiatan diskusi bersama mahasiswa, dosen, akademisi, maupun pakar. Sebelum muncul pandemi Covid-19, Hendro bisa menggelar acara diskusi publik tiap pekan.
Memang, mereka tidak harus beli buku sebelum dan sehabis acara. Tapi, kata Hendro, setidaknya mereka bisa ikut bantu mempromosikan nama Kedai Buku Semut Alas. Selain itu, Hendro merasa ilmu pengetahuan yang pelajari selama kuliah di UMM tetap berguna dan relevan dengan kegiatan-kegiatan diskusi yang digelar di tokonya.
“Promosi secara getok tular (dari mulut ke mulut) itu juga penting dan efektif, selain berpromosi lewat medsos, seperti yang pernah dilakukan Bang Rocky (Gerung). Bang Rocky pernah ke sini sehabis mengisi acara BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UMM. Bang Rocky ngopi dan ngobrol dengan kami selama 1 jam,” kata Hendro.
Bukan cuma aktif di kandang, sekali waktu Hendro dan kawan-kawan alumni IMM menggelar lapak buku di luar toko saat masa penerimaan mahasiswa baru atau di arena pameran buku.
Saat ini, di era digitalisasi, hampir 80 persen pemasaran Semut Alas dilakukan secara daring. Hendro dan kawan-kawan giat berpromosi lewat dua akun Instagram, masing-masing untuk lapak buku-buku baru dan buku-buku tua maupun langka. Untuk meluaskan pasar dari Sabang sampai Merauke, Hendro melapak lewat lokapasar alias marketplace.
Mayoritas pelanggan Kedai Buku Semut Alas berada di wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu), serta sejumlah kota di Provinsi Jawa Timur, seperti Surabaya, Jombang, Kediri, Jember, dan Lamongan.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda mulai Maret 2020, Hendro bisa membukukan omset Rp 20-30 juta per bulan. Biasanya, buku terlaris ditentukan oleh isu dan tema yang lagi booming, semisal kajian perempuan dan oligarki.
Penjualan buku hancur di masa pandemi. Hendro Hendro nyaris tidak meraup pendapatan sepeser pun. Untung istrinya yang bekerja sebagai laboran di UMM sangat pengertian—Hendro pada 2015 dan dikaruniai seorang putri.
Pasca-pandemi, volume penjualan buku Semut Alas masih sangat kecil dibanding sebelumnya. Namun, Hendro masih bersyukur sekali karena sesepi-sepinya pembelian, Semut Alas masih bisa menghasilkan sekitar Rp 5 juta per bulan. Namun, namanya jualan buku, penghasilannya tetap berfluktuasi.
Alhasil, agar Semut Alas tidak semakin goyah, Hendro terpaksa meminjam modal Rp 50 juta lewat skema kredit usaha rakyat atau KUR Bank Mandiri pada 2022. Sebagian uang dipakai untuk mempercantik interior toko, membuat kursi dan meja, serta membuat gerai kopi.
Tujuannya, agar Semut Alas makin tampak kinclong dan nyaman saat dikunjungi sehingga orang-orang rela berkerumun di tokonya untuk ngopi, berdiskusi, dan membeli buku.