Mampukah Indonesia Menuju Sekolah yang Tidak Lagi Seragam?

Author : Humas | Selasa, 13 Juni 2023 11:53 WIB | times indonesia. - times indonesia.

Nurna Eka Senja, Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru di Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Sepuluh tahun lalu, ramai dicetuskan Kurikulum 2013. Kini, dicanangkan kembali sebuah gebrakan baru di dunia pendidikan Indonesia bertajuk Kurikulum Merdeka.

Perubahan besar yang cukup memusingkan adalah memerdekakan peserta didik dalam belajar di sekolah. Para guru dituntut memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai dengan potensi yang telah mereka miliki. Akibat keberagaman potensi inilah guru juga diwajibkan menjembatani kegiatan belajar dengan berbagai perlakuan khusus. Dalam dunia pendidikan, kegiatan ini disebut pembelajaran berdiferensiasi.

Bukankah selama ini sekolah di Indonesia terkenal seragam? Bukan hanya dari pakaian, tapi hingga jawaban uraian pun harus sama persis agar mendapat nilai sempurna. Ujian Nasional yang dilaksanakan berpuluh tahun pun juga seragam. Meskipun berkode soal hingga 20, tapi bukankah masih ada yang seragam di bagian Indonesia lain? Konsep merdeka belajar ini sungguh di luar kebiasaan Indonesia. Pertanyaannya, mampukah keseragaman ini didobrak?

Melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi tidak sesepele memberikan kegiatan berbeda pada setiap anak. Ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan seperti jumlah siswa yang cukup banyak dalam satu kelas, kesesuaian materi, hingga kompetensi guru itu sendiri. Untuk itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dan dilakukan sebelum melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi. 

Pertama, guru perlu mengerti berbagai keberagaman. Dalam sebuah sekolah (reguler), pasti ada beberapa siswa yang berbeda agama. Meskipun agama Islam adalah mayoritas di Indonesia, guru tidak boleh menyamaratakan kegiatan belajar mereka sesuai mayoritas. Ini masih dari segi keberagaman agama. Keberagaman lain yang perlu dipelajari adalah sifat atau kepribadian, sosial ekonomi, bakat minat, gaya belajar, dan tingkat kognitif. Semua hal ini dapat dijadikan pijakan untuk membat pembelajaran berdiferensiasi. Di sinilah kompetensi guru diuji, seberapa jauh guru dapat terus terbuka dan meningkatkan pengetahuan.

Kedua, guru harus benar-benar mengenali masing-masing siswa dengan detail. Setelah mengerti berbagai kemungkinan keberagaman, guru dapat mulai mengenali siswanya dengan indikator tersebut. Untuk mengenali, guru dapat melakukan tes, wawancara, dan lainnya. Semua itu bertujuan untuk mengumpulkan detail informasi siswa dan melihat kemungkinan terhambatnya siswa tersebut dalam pembelajaran.

Ketiga, menyusun rancangan pembelajaran berdiferensiasi yang sesuai. Bagaimanakah rancangan yang sesuai? Perlu diingat, adanya pembelajaran berdiferensiasi bertujuan untuk memberi keleluasaan guru dalam mengakomodir keberagaman anak, sehingga mereka dapat belajar dengan merdeka. Untuk itu, selain menggunakan keberagaman untuk menentukan kegiatan belajar yang sesuai dengan siswa, juga diperlukan pertimbangan kesesuaian dengan materi belajarnya.

Apabila hasil belajar siswa tidak baik, bisa jadi formula diferensiasi dan materi yang dilakukan tidak sesuai. Bahkan, yang terparah adalah guru salah dalam mendiagnosis siswanya. Selain itu, guru juga perlu mengukur kemampuan dirinya apakah diferensiasi yang dilakukan dapat diakomodir oleh dirinya dan keterbatasan waktu mengajar.

Beberapa hal tersebut menjadi penentu keberhasilan dari pembelajaran diferensiasi. Saat ini, dibutuhkan guru yang benar-benar terbuka akan perubahan positif ini. Perubahan yang tidak mudah karena banyak aspek yang harus diperhatikan. Hingga akhirnya, siapkah sekolah di Indonesia tidak lagi seragam?

***

*) Oleh: Nurna Eka Senja, Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru di Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

Sumber: timesindonesia.co.id/amp/kopi-times/457753/mampukah-indonesia-menuju-sekolah-yang-tidak-lagi-seragam
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori