TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Publik kembali tersentak dengan aksi terorisme yang terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat (27/11 2020).
Sebanyak empat orang ditemukan tewas, satu gereja dan tujuh rumah jemaat dibakar dalam peristiwa tersebut.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafrie menyatakan telah terjadi pergeseran perilaku teror kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) setelah dipimpin Ali Kalora, mengingat tindakan teror juga disertai perampokan, dimana para pelaku mengambil stok beras dan barang-barang milik warga.
"Setelah ditinggal Santoso dan Basri, nampaknya kelompok ini lebih mengarah menjadi gerombolan kriminal ketimbang kelompok teroris," ujar Yana kepada wartawan, Senin (30/11/2020).
Menurut Yana, eksisnya kelompok Ali Kalora yang diperkirakan berjumlah 11-13 orang ini dikarenakan mereka mendiami wilayah pegunungan dan hutan di wilayah Poso hingga Parigi, Sulawesi Tengah.
Hal ini pula, kata Yana, menyebabkan terhambatnya upaya penangkapan kelompok ini, akibat sulitnya medan dan kelihaian kelompok ini menghindari aparat.
"Bahkan operasi Tinombala yang sudah berlangsung hampir lima tahun gagal menangkap Ali Kalora yang memang dimaksudkan untuk mengikis habis kelompok teror Poso yang awalnya dibangun Santoso dan kini dipimpin Ali Kalora," tutur dosen ilmu politik UMM tersebut.
"Setelah dilantik Presiden Jokowi pada awal Mei 2020 menggantikan Suhardi Aliyus, Boy berjanji menjadikan penanganan sisa kelompok teror Santoso sebagai prioritas utama agenda BNPT," tegas Yana.
Justru Yana heran, pada awal Agustus 2020, seperti mendahului kunjungan Boy Rafli ke wilayah operasi kelompok teroris ini, Ali Kalora dan kelompoknya melakukan penyanderaan dua orang petani dan merampok rombongan pegawai Pemda Poso di jalan Trans Sulawesi.
"Mungkin keberadaan Ali Kalora sempat diremehkan, karena dibandingkan Santoso yang memiliki kemampuan tempur dan perekrutan anggota, kapasitas Ali Kalora diragukan bisa membuat kelompok teror ini bertahan, apalagi ditengah kepungan intensif Operasi Tinombala," paparnya.
Yana berujar, MIT pimpinan Santoso sempat memiliki lebih dari 50 anggota yang terus berkurang akibat tertangkap aparat.
Namun kehilangan dua pimpinan kunci ditambah penangkapan, menurut Yana, sempat membuat BNPT meyakini kelompok teror ini menyisakan beberapa orang saja.
"Tiga insiden teror serius dalam tahun 2020 di Sulawesi Tengah yang menjadi tanggungjawab kelompok teror pimpinan Ali Kalora membuat kapasitas Komjen Boy Rafli Amar layak diragukan dalam memimpin pemberantasan terorisme," tandasnya.
Lebih lanjut, Yana mengingatkan, amanat Presiden Jokowi tentang upaya pemberantasan terorisme yang harus melalui penegakan hukum yang keras, tegas dan tanpa kompromi dengan memburu dan membongkar jaringan teroris sampai ke akar akarnya.
"Sehingga menguatnya kembali jaringan teror Poso telah menunjukkan kegagalan Boy Rafli menjalankan perintah Jokowi, baik pendekatan hard power maupun upaya soft power guna mengeliminasi dukungan masyarakat pada kelompok teror ini," pungkasnya.