PEMUDA DAN NEGARA
Author : Administrator | Minggu, 28 Oktober 2018 18:18 WIB
A.S. Rosyid,
Alumni Syari'ah UMM, Pemred Djendela.co.
Mahasiswa Magister Studi Ilmu Agama Islam Pascsarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
Pada tahun 1919, tiga lelaki paruh baya bernama Woodrow Wilson, Lloyd George, dan Georges Clemenceau “kongkow” di Paris. Saya tidak tahu pasti lokasi kongkow mereka, tapi saya lebih senang membayangkan mereka bersantai di beranda sebuah hotel mewah di tepi Sungai Seine, sambil menikmati jamuan kuliner Prancis yang terkenal lezat.
Siapakah mereka? Mereka adalah negarawan kebanggaan Amerika, Inggris, dan Prancis. Mereka adalah presiden dan perdana menteri. Kongkow di Prancis, apa yang mereka lakukan? Tak lain tak bukan adalah: menentukan nasib negara-negara jajahan.
Keji sekali kongkow mereka. Mereka duduk-duduk dan membagi tanah air orang lain seakan semuanya sudah menjadi wilayah kekuasaan mereka sendiri. Timur Tengah akan menjadi milik saya, Asia Tenggara akan menjadi milik kamu, sisanya menjadi milik dia. Persis seperti kue: daerah-daerah itu akan dikuasai dan dilahap. Manusia tidak ada harganya.
Tapi sekeji-kejinya, saya tidak bisa menutupi kekaguman pada satu hal: itulah kualitas negarawan Barat di masa lampau. Hingga seratus tahun kemudian, menurut Huntington, tak ada negarawan Barat yang bisa menandingi kekuatan mereka.
Tapi, di negara-negara terjajah pun lahir para negarawan yang tak kalah hebat, yang gagasannya menentang penindasan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ada sedikit orang yang bermimpi (dan yakin) bisa menumbangkan sebuah negara! Ambisi yang terlalu besar dan kuat. Misalnya di India, ada Mahatma Gandhi dan murid-muridnya. Di Indonesia, ada Bung Karno dan kawan-kawannya.
Perlu dicatat: para negarawan masa lampau mendapat gelar negarawan bukan semata karena terlibat politik praktis, tapi karena tirakat intelektualisme yang panjang. Gandhi punya gagasan (Ahimsa dan Satyagraha) dan bekerja siang malam untuk menguji gagasan itu sejak di level akar rumput. Secara rutin ia menulis gagasannya, dan membangun masyarakat dari satu ashram ke ashram lain.
Bung Karno juga begitu. Sejak usia 14 tahun, yakni pada tahun 1914, jauh sebelum sumpah pemuda, Bung Karno sudah menggemparkan sidang Sarekat Islam dengan pidato berbahasa Indonesia—bahasa yang belum lazim digunakan dalam rapat saat itu. Beliau seorang bibliofil dan poliglot andal; seorang pembelajar yang sangat tekun, dan penulis yang esai-esainya begitu tajam sekaligus luwes. Korespondensi intelektualnya dengan banyak pihak tercatat hingga hari ini. Bisa dibaca, salah satunya, dalam buku berjudul “Islam Sontoloyo”.
Bahkan untuk sebuah diklat pergerakan perempuan, Bung Karno menulis sendiri buku sejarah pergerakan perempuan, (yang kelak menjadi “Sarinah”, buku pedoman gerakan perempuan demi mengisi dan merawat kemerdekaan). Jarang-jarang kita punya negarawan komplit seperti Bung Karno.
Bersama bung-bung besar lainnya, Bung Karno bekerja siang malam menguji gagasan sedari akar rumput, sampai matang ketika bernegara. Kita bisa simpulkan “wajah khas” para negarawan besar saat itu: (a) mereka intelektual, (b) punya wawasan dan jejaring global, (c) punya kesadaran kritis, (d) punya gagasan besar, (e) bergerak sedari akar rumput, dan (f) menulis.
Kekhasan itu mereka jalankan sejak muda belia. Mereka bersentuhan dengan tradisi intelektual dan gerakan dengan cukup kental. Mereka membaca buku untuk mengejar ketertinggalan intelektual Indonesia sebagai sebuah bangsa. Mereka bukan orang malas yang berkemul di dalam selimut kenyamanan (al-Muddattsir). Mereka dinamis: belajar dan bergerak. Kehadiran mereka sejak muda telah menggebrak.
Maka benarlah bila dikatakan bahwa kemerdekaan kita setengahnya direbut dengan “akal runcing”—meminjam bahasa Rocky Gerung. Muslim-muslim kita saat itu (terlepas dari perbedaan ideologi politik) terlibat dalam diplomasi dan perdebatan di meja runding internasional, melawan intimidasi negara penjajah. Setelah merdeka, mereka kembali bersilat-pikir di forum-forum Konstituante.
Apakah kita, generasi Islam saat ini, telah melihat (baca: cukup banyak membaca buku tentang) bagaimana “akal-akal runcing” itu saling beradu? Mereka yang terlibat dalam pemerdekaan dan perumusan negara itu, sudahkah kita meneladani tirakat intelektual macam apa yang mereka jalani semasa mudanya?
Kita akan memasuki hari-hari di mana apa saja bisa dieksploitasi, dan mesin-mesin politik terus bekerja memelihara nalar rakyat tetap tumpul: tujuannya, supaya gampang diyakinkan dengan argumen-argumen dangkal. Siapa pelakunya? Kaum terpelajar kita yang sudah lupa martabat kecendekiaannya.
Pertanyaan untuk kita sekarang hanya satu: lewat momentum perayaan hari sumpah pemuda ini, terutama kita kaum terpelajar Islam, hendak berbuat apa? Bila tulisan ini menggambarkan bagaimana negarawan besar masa lampau menghidupkan “Ajaran Iqro’”, bisakah kita menghidupkan hal serupa? []
Shared:
Komentar