Siapkah Indonesia Beralih ke Tanaman Bioteknologi?

Author : Administrator | Rabu, 20 Januari 2016 13:27 WIB
 

Bioteknologi bisa membawa kemajuan bagi dunia pertanian Indonesia, sehingga bisa melepaskan ketergantungan Indonesia dari impor bahan pangan.

Siapkah Indonesia Beralih ke Tanaman Bioteknologi?
Selain potensi perikanan, pantai utara Jawa di antara Karawang dan Subang menghasilkan beras bermutu baik. Kawasan ini menjadi lumbung beras Jawa Barat. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

































Kehadiran ilmu bioteknologi selama ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh sektor pertanian di Indonesia. Padahal, teknologi pangan tersebut bersifat positif dan bisa membawa kemajuan bagi dunia pertanian Indonesia. Tidak hanya itu, bioteknologi juga bisa melepaskan ketergantungan Indonesia dari impor bahan pangan.

Demikian kesimpulan dari Seminar Nasional Bioteknologi yang digelar Fakultas Biologi Universitas Nasional, Kamis (14/1/2016). Hadir dalam seminar tersebut sejumlah pakar di bidang teknologi pangan.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik , Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan Indonesia melihat bioteknologi tidak hanya sebagai salah satu instrumen strategis untuk masa depan keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan namun juga solusi tepat untuk Negleted Tropical Diseases (NTD) atau penyakit endemic antara lain seperti deman berdarah dan kaki gajah.

Untuk itu dibutuhkan  kerjasama global yang intensif untuk mengoptimalkan produk rekayasa genetik (GMO/genetically modified organism), saling percaya dengan pemangku kepentingan termasuk petani dan kelompok tani tentang produk GMO.

Agus mengatakan ada dua produk GMO yang telah mendapatkan sertifikat feed safety, 12 produk yang telah mendapatkan sertifikat food safety dan 6 produk yang telah mendapatkan sertifikat environmental safety.

Ketua Komisi Keamanan Hayati itu mengatakan mereka bertugas sesuai dengan Peraturan Presiden No.53/2014 tentang tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang mengatur tentang sertifikasi dan keamanan produk GMO di Indonesia.

Sedangkan Kepala Pusat Kajian Bioteknologi Universitas Nasional Retno Widowati menjelaskan, saat ini AS masih menjadi negara yang menanam tanaman bioteknologi terluas di dunia seluas 73,1 juta hektare atau 40 persen dari total luas tanaman bioteknologi dunia. AS mengadopsi tanaman bioteknologi terbanyak pada jagung (93%), kedelai (94%) dan kapas (96%).

Sedangkan negara berkembang seperti Brazil, lanjutnya bahkan mencetak rekor baru di tahun 2014 dengan peningkatan luasan tanaman biotek sekitar 1,9 juta hektar dari tahun 2013,  menduduki peringkat kedua selama enam tahun berturut-turut di bawah AS.

Sementara negara miskin Bangladesh, telah menyetujui komersialisasi Terong Bt Brinjal pada 30 Oktober 2013 dan berselang kurang dari 100 hari setelah persetujuan, para petani kecil menanam Terong Bt pada 22 Januari 2014. Sedangkan India mencatat 11,6 juta hektar lahan tanaman bioteknologi dan memiliki laju adopsi 95% untuk kapas bioteknologi.

‘’Di Indonesia sendiri, beberapa institusi penelitian telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Namun upaya penamaman tanaman bioteknologi secara komersial saat ini sedang menjalani pengkajian keamanan hayati yang dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayati beserta tim teknisnya. Pemerintah memang sangat berhati-hati untuk masalah ini, karena sekali sudah dilepas, maka tidak dapat ditarik kembali. Namun, status ini penting untuk para peneliti, karena pasti peneliti akan lebih bergairah jika ada kejelasan tentang masa depan bioteknologi di Indonesia,’’ ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama Herry Kristanto, Corporate Engagement LeadMonsanto Indonesia menyebutkan bagaimana potensi besar Indonesia untuk mengembangkan bioteknologi dalam sektor pertanian dan perkebunan. Dengan segala potensi yang ada, dia tanpa ragu Indonesia akan bisa menjaga stabilitas ketahanan pangan jika bioteknologi diadopsi secara masal dan masif.

“Bukan saja kita bisa mewujudkan ketahanan pangan, kita juga bisa mencapai surplus dalam produksi. Karenanya, kita akan bisa mengekspor produk pangan ke negara lain. Tapi, itu bisa terwujud jika bioteknologi mulai diterapkan secara masal,” ungkap Herry.

Salah satu produk yang bisa dikembangkan, kata Herry, adalah jagung. Komoditas pangan tersebut, selama ini masih menggunakan bibit jenis konvensional yang bisa menghasilkan rerata 4,5 juta ton per tahun. Jumlah tersebut cukup banyak, tapi tidak bisa menyaingi produksi Amerika Serikat ataupun Brasil.

Kedua negara di Benua Amerika itu, produksi jagungnya per tahun mencapai rerata 9 juta ton. Jumlah tersebut, menurut Herry, bisa terwujud karena kedua negara tersebut menggunakan bioteknologi dalam pembuatan bibit jagungnnya.

“Kita harus bisa bersikap mulai dari sekarang. Jika menggunakan bioteknologi, manfaatnya sangat banyak. Sementara, jika tidak, sudah jelas kita justru menyuplai pertanian negara lain. Karena, setiap tahunnya Indonesia masih mengimpor dari negara lain,” sebut dia.

Perubahan Iklim

Selain karena daya saing dan volume produksi yang tidak bisa berkembang signifikan, penggunaan bioteknologi patut segera dilaksanakan karena saat ini Indonesia dan dunia secara umum sedang dilanda perubahan iklim. Fenomena alam tersebut hingga saat ini masih menjadi permasalahan serius yang belum ditemukan jalan keluarnya.

Menurut Ketua Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional Winarno Tohir, perubahan iklim yang paling terasa di sektor pertanian dan perkebunan adalah munculnya anomali iklim yang mengakibatkan tidak ada lagi periode siklus yang konsisten.

“Umur tanaman muda sangat peka terhadap perubahan iklim karena tahan/resisten terhadap kekurangan atau kelebihan air dan perubahan temperatur udara. Dalam kondisi tersebut, produksi pertanian dan perkebunan menjadi turun secara signifikan,” papar dia.

Penyebab turunnya produksi, kata Winarno, karena penyinaran matahari menjadi berkurang, penyerbukan terganggu karena angin dan hujan, serta munculnya serangan hama penyakit seperti wereng, tikus, kresek, dan lain-lain.

Karena itu, menurut Winarno, salah satu langkah yang bisa diambil untuk memecahkan persoalan tersebut, adalah dengan menerapkan biotetknologi dalam pertanian dan perkebunan Indonesia. Hal itu, karena lahan yang tersedia saat ini hingga beberapa waktu ke depan tidak akan banyak lagi. Sementara, pada saat bersamaan, kebutuhan pangan dunia justru akan meningkat berlipat-lipat karena penduduk dunia juga akan bertambah.

“Mencetak sawah berpengairan teknis sangat mahal dan lambat, sawah tanpa pengairan murah dan cepat dengan menggunakan teknologi perbenihan bioteknologi. Untuk itu, petani Indonesia menunggu political will dari pemerintah untuk dapat segera menyetujui adopsi benih bioteknologi di Indonesia agar manfaat dari teknologi ini dapat segera dirasakan oleh para petani”.

Selain faktor perubahan iklim dan penyusutan lahan pertanian beserta jumlah petaninya, Herry memaparkan, Indonesia perlu untuk segera menerapkan bioteknologi, karena saat ini negara lain sudah menerapkannya. Bahkan, produk bioteknologi dari luar negeri saat ini sudah membanjiri pasar Indonesia.

Sosialisasi kepada Petani

Karena bioteknologi merupakan hal yang baru, baik Winarno maupun Herry sepakat, dibutuhkan upaya ekstra keras karena hingga saat ini petani di seluruh Indonesia masih belum melek informasi tentang manfaat bioteknologi.

“Kalau soal kontroversi tentang bioteknologi, itu akan selalu ada. Tapi, bagaimana kita harus bisa mengambil sisi positifnya saja. Lagipula, bioteknologi ini akan membawa keberkahan jika diterapkan di Indonesia,” ungkap Winarno.

Untuk itu, perlu sosialisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait, termasuk Pemerintah di dalamnya. Petani, sebagai ujung tombak dari sektor pertanian dan perkebunan, harus mendapat pemahaman utuh tentang bioteknologi dan bagaimana penerapannya.

Sementara, Herry berpendapat, selain petani, yang harus mendapatkan pemahaman juga adalah pihak-pihak terkait yang bersinggungan langsung dengan pertanian dan perkebunan. Bisa saja, itu adalah Pemerintah, swasta ataupun masyarakat biasa.

Kedaulatan Petani

Sedangkan Dr. Vandana Shiva, aktivis pangan dan lingkungan dari India dalam diskusi pakar yang diselenggarakan Yayasan Keanekaragaman Hayati di Jakarta, pada Agustus 2014 mengatakan kedaulatan pangan berawal dari kedaulatan petani dalam menanam benih pangan mereka sendiri.

Vandana menjelaskan benih merupakan titik awal sistem pangan. Maka Ketika benih dikuasai oleh sekelompok orang atau perusahaan, maka dampaknya akan berlaku untuk seluruh konsumen pangan, seperti tingginya harga pangan, dan sulitnya mengakses makanan yang sehat dan aman.

Sedangkan  Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan berikutnya petani-petani penangkar benih. Kelompok petani penangkar selanjutnya akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun-laboratorium benih industri korporasi.

Ketua SPI Henry Saragih yang dikutip dari laman SPI mengatakan hal tersebut akan menghilangkan satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Dan sistem perbenihan rakyat – yang mendapatkan angin segar dari hasil keputusan MK terhadap judicial review atas UU Sistem Budidaya Benih menyangkut perbenihan – bakal mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO diizinkan.

Mengenai aspek keamanan pangan (food safety), Hery mengatakan pemerintah melalui Komisi Keamanan hayati Produk Rekayasa Genetika harus semakin hati-hati dalam pengambilan keputusan tentang keamanan pangan GMO. Prinsip kehati-hatian (precautionary) dalam keamanan pangan harus diutamakan.

Oleh karena itu, SPI menolak segala upaya Pemerintah untuk mengizinkan penggunaan dan peredaran benih GMO dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan. SPI juga akan mendukung penuh upaya para ahli teknologi pertanian untuk memanfaatkan dan mengembangkan benih lokal dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan.

 

 

 

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: