Uun Zulfiana, M.Psi. (Foto : Istimewa). |
Dari data Kementerian Kesehatan RI 2023, gangguan kesehatan mental atau depresi merupakan masalah kejiwaan yang rentan terjadi pada remaja. Data di Indonesia menunjukkan sebanyak 6,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental yang salah satunya adalah skizofrenia.
Psikolog sekaligus Dosen Prodi Psikologi (FPsi) Universitas Muhammadiyah (UMM) Uun Zulfiana, M.Psi. menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan gangguan psikotik berupa disorientasi realita. “Kontak terhadap kenyataan berkurang atau bahkan tidak berfungsi jika gangguan tersebut terlampau parah,” jelas dosen yang akrab disapa Uun tersebut.
Selain itu, skizofrenia juga berdampak pada pemikiran, emosional, dan perilaku manusia. Jika ditelisik lebih dalam, gangguan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama faktor biologis, artinya jika seseorang mempunyai riwayat keturunan atau silsilah keluarga yang terdiagnosa skizofrenia, potensi keturunannya lebih besar mengidap gejala tersebut. Apalagi jika lingkungannya tidak mendukung.
Baca juga : Lima Prodi FPP UMM Songsong Akreditasi Internasional ASIIN
Kedua adalah kepribadian diri sendiri artinya bagaimana dia melakukan problem solving, melihat dirinya (self-esteemnya) apakah ia termasuk introvert atau extrovert. “Dan ketiga yakni faktor lingkungan atau psikososial yang meliputi ekonomi, sosial masyarakat dan lainnya. Keempat adalah penggunaan obat terlarang yang cukup lama, hal itu yang menyebabkan kerusakan otak dan bisa mempengaruhi skizofrenia,” tambahnya.
Uun juga memaparkan, terdapat beberapa gejala atau ciri penderita skizofrenia. Yang pertama, ia melakukan isolasi diri karena merasa mencapai agresif yang berlebihan. Kedua, emosionalnya tidak terkendali yaitu bisa sangat pasif seperti bermalas-malasan bahkah sebaliknya terlalu aktif. Ketiga, secara kognitif munculnya disorientasi ketidaknyambungan mengenai waktu dan suasana, yang mana ia bisa mengartikan sesuatu menjadi tidak benar. Terakhir, gejala yang paling menonjol adalah halusinasi atau delusi dengan munculnya bisikan atau ajakan melakukan hal yang sebenarnya tidak dilakukan oleh orang normal.
“Namun, seseorang yang memenuhi ciri seperti diatas tidak bisa langsung dilakukan diagnosa sebelum ciri tersebut menetap selama enam bulan secara persisten dan konsisten,” ujarnya.
Baca juga : Unik, Mahasiswa UMM Kembangkan Prototipe Alat Deteksi Kantuk
Potensi kesembuhan pada pasien skizofrenia bergantung pada level gangguan. Artinya, banyak faktor yang mempengaruhi kesembuhannya. Semakin ia mudah mengalami gangguan dan sudah lama mengidapnya, maka kemungkinan penyembuhannya tidak bisa 100%. Namun, jika gangguan muncul saat usia tua dan terdeteksi dengan cepat, maka kemungkinan kesembuhannya lebih positif. Proses penyembuhan pasien bisa melalui sisi medis, fisiologis, dan psikoterapi dengan berbagai pendekatan.
Tips dari Uun agar gangguan skizofrenia tidak terulang ke generasi penerus adalah dengan manajemen stres yang baik. Begitupun dengan proses relaksasi pikiran dengan refreshing dan menghindari faktor pemicu. “Langkah terbaik adalah menyelesaikan faktor pemicunya, namun jika tidak bisa lebih baik untuk menghindar,” tandasnya.
Di akhir ia berharap penderita Skizofrenia bisa lebih peka dengan keadaan ketika merasakan ciri atau gejalanya. “Jangan malu untuk bercerita tentang masalah yang sedang dialami kepada orang terdekat atau yang paling dipercaya. Jika tidak, segera konsultasikan karena saat ini anda telah dimudahkan oleh teknologi yang membuat anda bisa melakukan konsultasi dengan tenaga profesional hanya melalui gawai,” tutupnya. (dit/wil)