Bayu Dharmala, staf Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang sedang menuntut pendidikan strata dua di The University of Arizona, Amerika Serikat. (Foto: Istimewa) |
Menjalani bulan ramadan di negara orang merupakan suatu tantangan tersendiri. Terlebih jika negara yang sedang ditinggali memiliki penganut muslim yang minoritas. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Bayu Dharmala, salah satu staf Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang sedang menuntut pendidikan strata dua di The University of Arizona, Amerika Serikat.
Bayu, sapan akrabnya menceritakan bahwa suasana ramadhan dan hari biasa di Amerika, khususnya Arizona terasa sama. Hal ini terjadi karena pemeluk muslim merupakan minoritas di daerah tersebut. Tidak terasanya suasana ramadhan di Amerika membuat anak tunggal tersebut harus mandiri dalam mempersiapkan sahur maupun berbuka puasa. Pelaksanaan bulan puasa yang bertepatan dengan musim panas di Amerika juga menjadi tantangan tersendiri.
“Ramadhan di Indonesia identik dengan kajian ramadan, patroli untuk membangunkan sahur, takjil, dan lain sebagainya. Namun suasana tersebut tidak dapat saya rasakan di Arizona. Oleh karena itu saya tidak bisa mengandalkan suara azan maupun suara orang patroli untuk mengetahui waktu sahur dan berbuka puasa. Saya hanya mengandalkan alarm di smartphone sebagai penunjuk waktu,” ungkap alumni UMM asal Pasuruan itu.
Lebih lanjut, Bayu mengatakan bahwa waktu untuk berpuasa di Amerika berlangsung lebih lama di lbanding jika berada di Indonesia. Total waktu puasa di Amerika adalah 14 jam 30 menit. Sahur dimulai pukul 04.30 sampai 04.45 lalu waktu berbuka puasa adalah pukul 19.00. Sementara itu untuk waktu solat tarawih dimulai pada pukul 20.00 malam.
“Di Arizona, ada satu masjid yang dekat dengan tempat tinggal saya, bernama Susan Islamic Centre. Di masjid tersebut biasanya saya melaksanakan salat tarawih berjamaah bersama dengan masyarakat muslim lainnya di Arizona. Ada beberapa hal unik yang saya alami selama menjalani solat tarawih disini. Salah satunya adalah jumlah rakaat solat yang tidak biasa. Di sini, solat tarawih berjumlah 10 rakaat dan disusul solat witir berjumlah tiga rakaat. Jadi total solat tarawih di Arizona adalah 13 rakaat,” kata Bayu.
Adapula hal unik lainnya juga dialami oleh Bayu. Banyak teman-teman kuliahnya yang belum mengerti akan puasa. Karena hal tersebut, pada waktu makan siang beberapa teman sering memberi Bayu makanan berupa roti maupun coklat. “Kadang saya bingung bagaimana menolak pemberian mereka tanpa menyakiti hati. Biasanya saya menerima makanan yang diberikan lalu saya simpan untuk berbuka puasa,” ujar Bayu.
Meskipun tidak bisa merasakan ramadan seperti di Indonesia, Bayu mengatakan bahwa suasana ramadhan bisa ia dapatkan dari komunitas muslim yang ada di Arizona, yaitu Muslim Student Association (MSA). Komunitas ini sering mengadakan buka puasa bersama seminggu sekali.
“Berkat berkumpul bersama saudara-saudara muslim lainnya di Arizona, saya jadi merasakan bagaimana suasana ramadan. Meskipun tidak bisa menjalani puasa seperti tahun-tahun sebelumnya, namun perbedaan yang ada membuat saya memaknai lebih dalam mengenai arti bulan ramadhan,” tandasnya. (Syi/Will)
Penulis: Syifa Dzahabiyyah | Editor: Hassanalwildan Ahmad Zain