Sesi foto bersama Mustafa Selcuk dan Kaprodi Komunikasi UMM Nasrullah sebagai panelis (Foto : Istimewa). |
Polarisasi kelompok yang disebabkan perang informasi di media sosial semakin meresahkan. Berbagai kasus konflik sosial yang tak perlu terjadi diawali dari saling caci di media sosial. Ternyata, perang informasi ini tidak selalu alami tapi juga direkayasa oleh pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan troll factory, perusahaan agensi internet yang menyediakan pengelolaan isu menggunakan influencer, buzzer ataupun bot.
Hal ini mengemuka dalam diskusi Kuliah Tamu Internasional di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (15/5/2024). Acara ini menghadirkan narasumber utama pakar media baru (new media) dari Aristotle University of Thessaloniki, Yunani, Mustafa Selcuk dan Kaprodi Komunikasi UMM Nasrullah sebagai panelis.
Perang informasi di media, kata Selcuk, mirip dengan perang di dunia nyata. Perang siber bisa berupa serangan virus komputer, mengganggu radar, mengenkripsi transmisi radio, dan membom pusat relai komunikasi. “Semuanya dimaksudkan untuk melindungi atau menyerang informasi atau sistem informasi lawan,” katanya.
Baca juga : UMM Kukuhkan Dua Profesor Baru Kaji Ekonomi dan SDGs
Meski demikian, perang informasi tidak terbatas pada dunia militer walau dapat digunakan untuk mendukung strategi militer nasional. Perang informasi bukan hanya serangan siber, tetapi juga bergantung pada kampanye media sosial untuk menyebarkan kepentingan dan narasi aktor melalui platform media sosial.
“Misalnya, dukungan publik sangat penting untuk keberhasilan kampanye yang berlarut-larut, dan pendukung serta pencela kampanye akan berjuang melalui koran dan di televisi untuk mempengaruhi dukungan itu,” tambah Selcuk.
Ia juga mencontohkan Pegasus sebagai spywar Israel yang dirancang untuk dipasang secara diam-diam dan jarak jauh pada ponsel yang menjalankan iOS dan Android.
Sementara itu, Nasrullah mewanti-wanti mahasiswa agar tidak mudah terprovokasi dan masuk ke dalam echo chamber secara emosional ketika menerima informasi dari media sosial. Banyak kasus di dunia menujukkan perpecahan disebabkan polarisasi di media sosial. “Provokasi itu dilakukan dengan sengaja oleh troll factory,” kata Nasrullah.
Cara kerja troll factory, terangnya, adalah dengan cara memelihara buzzer ataupun bot, influencer, dan menggunakan informasi hoaks untuk menyerang lawan atau mengadu domba kelompok-kelompk agar terpolarisasi semakin tajam. Troll factory bisa merusak tatanan sosial berkat kekuatan konten dan jaringan melalui media sosial dapat mengaduk-aduk opini publik sehingga saling membenci dan mencaci.
Baca juga : Dosen UMM Gagas Pemilu Langsung Hakim MK, Sabet Juara Nasional
“Menurut penelitian, dari 64 negara, 30 diantaranya menggunakan troll factory untuk melakukan perang informasi. Ini sungguh sangat berbahaya jika tidak diwaspadai,” tukas Nasrullah.
Mahasiswa berebut mengajukan pertanyaan usai kedua narasumber memaparkan materinya. Sebagian besar mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan media ketika terjadi perang informasi itu. Publik banyak dirugikan karena ikut terpecah dan masuk dalam konflik ketika perang opini terjadi di media. Salah satu penanya, Sania, mengritik media banyak melakukan framing berita menggunakan cara-cara information disorder. Merespon pernyataan ini, Selcuk mengatakan subjektivitas media seringkali menjadi sumber informasi publik dan menjadikan sebegai referensi. Cara terbaik menurutnya adalah melakukan pengecekan ulang tentang kebenaran yang disampaikan media dengan cara bertanya langsung ke sumber terpercaya.
Senada Selcuk, Nasrullah menegaskan tidak ada media yang 100 persen objektif dan netral. Setiap media memiliki kepentingan yang sulit dilepaskan, baik dari sisi individu pekerja media, rutinitas, organisasi internal dan eksternal media, maupun pada tingkat ideologi.
Penanya lainnya, Ghozi, menanyakan peran aktor non-militer dalam perang informasi. Ia juga mengkritisi penggunaan istilah benar dan salah melalui media oleh pihak-pihak yang berbeda. Baginya, bukankah masing-masing pihak berhak mengklaim kebenaran tanpa harus menganggap bahwa pihak lain salah. “Dengan demikian harusnya tidak ada perang informasi jika keduanya dapat dianggap benar,” ungkapnya.
Menurut Selcuk, aktor non militer memanfaatkan media sosial untuk mobilisasi. Mobilisasi di media sosial itu pada gilirannya akan berpengaruh pada mobilisasi sosial di dunia nyata. “Seperti kasus protes atas perang di Israel oleh mahasiswa Colombia University Amerika Serikat. Pada posisi seperti ini, tidak hanya pihak kampus, pemerintah pun tidak mampu lagi mencegah karena dimobilisasi oleh media sosial,” tambah Selcuk.
Meski demikian, lanjut Selcuk, hoaks tidak akan menguntungkan pihak manapun. Kalau klaim kebenaran itu menggunakan hoaks, maka akan merugikan semua pihak.
Wakil Rektor UMM Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat dan Kerjasama, Salis Yanuardi, Ph.D. mengapresiasi Komunikasi UMM mengangkat tema ini. Selain aktual, persoalan information war juga sedang hot. “Kita berada dalam masyarakat simulacrum, yang sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak,” ungkapnya ketika membuka acara.
Kuliah tamu internasional Komunikasi UMM merupakan salah satu program untuk menambah pengetahuan dan pengalaman mahasiswa pada sentuhan global. Sebagai Prodi yang terakreditasi internasional oleh FIBAA di Jerman, Komunikasi UMM akan terus mengagendakan forum-forum internasional baik dalam bentuk kuliah tamu, seminar, hingga pertukaran mahasiswa. (*/wil)