Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Bahas Kasus Ferdy Sambo. (Foto Istimewa) |
Setelah terkuaknya kasus Kematian Brigadir Joshua, Ferdy Sambo ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Hasil tersebut bukan berasal dari proses yang singkat, apalagi ada banyak fakta mengenai kejanggalan yang terjadi. Terkait kasus pembunuhan itu, Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Tongat SH., M.Hum. turut angkat bicara. Ia menilai bahwa kasus ini belum memasuki babak akhir, justru malah memasuki babak awal.
Menurutnya, Ferdy Sambo bisa saja menempuh berbagai upaya hukum untuk meringankan hukuman dan putusan dari hakim. Banyak kesempatan yang bisa ia lakukan. seperti pengajuan banding ke pengadilan tinggi, hak asasi, hingga melakukan peninjauan ulang. Bahkan jika upaya tersebut ditolak, ia masih bisa mengajukan grasi kepada presiden secara langsung.
Baca juga: Workshop Psikologi UMM, Intervensi VR Untuk Terapi Phobia
“Memang ada peluang baginya untuk mengajukan banding, namun peluangnya tentu tipis. Hal itu dikarenakan prosesnya yang harus melalui indeks fakti. Sehingga tidak ada cela yang bisa dimasuki lagi,” tegasnya.
Tongat, sapaannya, juga membahas beragam faktor yang mempengaruhi hukuman dari pihak pengadilan. Salah satu faktor utamanya adalah ikutnya masyarakat menyaksikan proses persidangan. Pun dengan tidak adanya i’tikad baik dari tersangka untuk membongkar dan menyingkap kebenaran kasus.
Terkait hukuman mati, ia juga menjelaskan bahwa dalam sistem pidana, eksekusi mati baru bisa dilakukan jika pengajuan grasi sudah ditolak. Namun Ferdy Sambo bisa saja mengajukan upaya penundaan penegakan keadilan. Hal itu sesuai dan tertuang pada pasal 100 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penundaan jatuhan hukuman mati selama sepuluh tahun. Namun, untuk menggunakan pasal tersebut harus dituang secara eksplisit saat persidangan.
Ia juga menilai ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus Sambo. Satu di antaranya adalah adanya transparansi proses persidangan dan hakim. Hal ini sekaligus bisa menghapus stigma buruk yang beredar di masyarakat. Putusan hakim memberikan harapan baru bagi masyarakat tentang keadilan yang harus ditegakkan.
Baca juga: Dosen Ekos UMM: Biaya Haji Naik, Masyarakat Perlu Sosialisasi dan Transparansi
“Tak akan ada lagi paradigma bahwa hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Melalui kasus ini pula, muncul titik balik bahwa equality before the law masih bisa diperjuangkan. Tentu dengan catatan bisa dilanjutkan, dilakukan dengan serius serta pengawalan dari masyarakat. Jadikan momen ini sebagai bahan untuk intropeksi diri, khususnya bagi institusi kepolisian agar bisa mengembalikan citra baik di masyarakat,” pungkasnya. (tri/wil)