Muhammad Ali Wahyudi. (Foto: Istimewa) |
Dua buah kompleks pendidikan mewah hadir di salah satu ujung jalan desa. Bangunan berkonsep modern dengan rindang pepohonan tampak berdiri kokoh. Semangat milenial dan futuristik dengan nuansa Islam hadir di sana. Tazkia Internasional Islamic Boarding School (IIBS).
Siapa sangka, pondok pesantren yang memiliki 810 orang siswa ini tumbuh dari mimpi seorang anak muda untuk mendirikan sebuah miniatur lembaga pendidikan yang sederhana. Ia adalah Muhammad Ali Wahyudi, alumni Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
“Saya itu cita-citanya ingin membuat miniatur lembaga pendidikan. Kalau seperti UMM itu terlalu besar, ya ingin saya kecilin. Kalau kampus buat mahasiswa, ya saya nanti bikin buat santri,” ujar pria kelahiran Pamekasan tersebut mengulik ke belakang.
Semasa kuliah Ali mengaku tidak terlalu menonjol di dunia akademik. Namun semangatnya untuk meningkatkan soft skill termasuk jiwa entrepreunership menyala-nyala. Selain suka berdagang, ia juga rajin mengasah keterampilan dengan berbagai kegiatan lain. Mulai dari ngaji ke kiyai-kiyai salaf, ikut seminar nasional hingga berjualan.
Baca juga: UMM Berdayakan UKM Produksi Masker
“Saya pernah menunda bayar SPP demi ikut seminar motivator-motivator nasional, seperti Tung Desem Waringin, Mario Teguh, Bob Sadino, Helmi Yahya, Reza M. Syarief, Purdie E. Chandra dan pakar pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman (Pendiri Lab School Jakarta). Ilmu itu sedikit banyak berpengaruh kepada jiwa pendidikan dan entrepreuner saya,” ujarnya.
Selain berdagang, Ali juga aktif mengajar mulai duduk di masa kuliah. Baginya, berkontribusi bagi dunia pendidikan adalah panggilan jiwa. Ia pun secara langsung terjun di Madrasah Pesantren Wahid Hasyim Malang, Pondok Pesantren Ar Rohmah Malang, lalu Al-Izzah IIBS Batu.
“Setelah hampir 13 tahun lebih ikut orang, lalu timbul keinginan untuk belajar mandiri karena saya punya prinsip lebih baik menjadi ikan besar di kolam yang kecil, dari pada menjadi ikan kecil di kolam yang besar. Karena memperbesar kolam itu jauh lebih gampang dan lebih cepat dari pada menunggu besarnya ikan,” ujarnya.
Tahun 2005 Ali memutuskan mimpi mulianya dengan membantu pendidikan anak yatim. Lalu berdirilah panti asuhan Permata Mulia. Isinya anak-anak yatim yang dibiayai sekolah dan kuliahnya. Namun sayang, dengan kemampuan financial pribadi, Ali hanya mampu membiayai 6 orang anak.
Baca juga: Cegah Kecemasan Berlebih Covid-19, BK UMM Buka Layanan Konseling Gratis
“Sehingga terbesit pikiran, kalau ini dibagusin, dirapikan, dimanajemen, saya bisa pakai subsidi silang. Dan ini saya wujudkan di Tazkia. Sejak awal berdiri, sampai saat ini dan mudah-mudahan bisa naik lagi, 10% dari penerimaan santri Tazkia itu untuk yatim dan dhuafa. Makanya saya kasih tagline Tazkia, pesantren elit yang peduli wong alit,” katanya.
Ali sadar, dirinya hanya seorang guru di pesantren dengan latar belakang akademik yang biasa-biasa saja. Namun pengalaman selama 13 tahun di dunia pendidikan ia yakini dapat menjadi bekal istimewa yang mengajarkan banyak hal, termasuk bagaimana mendirikan sebuah lembaga pendidikan.
“Karenanya saya harus lebih dulu menjadi resources integrator atau bahasa saya tukang jahit yang baik, yang mampu mengikat dan menyulam kompetensi-kompetensi orang sehingga menjadi kekuatan umat yang besar,” kata pria yang juga menyelesaikan pendidikan S2 Kebijakan Pengembangan Pendidikan di UMM ini.
Meneruskan langkah, Ali lalu mencari orang-orang yang mau dan mampu berlayar bersama. Pertama para ustadz dan kiai yang ikhlas. Lalu orang-orang kaya yang peduli (Aghnia Sholih) terhadap pendidikan dan terakhir adalah orang-orang pintar yang punya kemampuan leadership dan manajemen yang baik.
Baca juga: Dukung Praktikum dari Rumah, Laboratorium Prodi Teknik Informatika kembangkan iLab
“Dan gabungan orang alim, orang kaya, orang pintar itulah yang saya jahit dengan ilmu yang namanya resources integrator. Jadi dari awal saya sudah memahami saya tidak bisa sendirian. Kalau saya hanya sendirian, punya experience tapi gak punya keilmuan yang baik, ilmu agama yang baik dan tidak punya uang maka bayangan saya, paling banter saya bikin proposal. Makanya saya selalu bilang Tazkia itu sukses berjamaah,” jelasnya.
Hadirnya Tazkia IIBS diharapkan dapat menjawab kebutuhan umat karena Ali mengaku, seringkali saat tengah berkunjung ke luar kota atau bahkan luar negeri, banyak ia dapati kerinduan orang tua masa kini terhadap suasana pesantren. Mereka ingin anaknya merasakan pengalaman belajar di pesantren. Namun sayang, si anak sudah tidak compatible dengan pesantren dimana mereka harus masak sendiri, harus mencuci sendiri dan lain-lain.
“Muslim urban yang bagus di kota, mereka itu ingin menyekolahkan anaknya ke pesantren, khususnya pesantren salaf karena pesantren itu adalah miniatur kehidupan yang sesungguhnya. Namun ternyata gak mampu. Mereka lalu memilih sekolah internasional tanpa dilihat background agamanya. Harapan kami Tazkia itu mampu memadukan, blanded antara tradisi pesantren salaf misalnya, makanya ada kitabnya dengan pendidikan standard internasional,” kata Ali.
Saat ini, santri Tazkia IIBS sudah inden sampai 5 tahun ke depan dengan jumlah santri kurang lebih 1800an dan semuanya berbayar. Itu artinya, ke depan akan ada 180 yatim duafa nanti yang akan sekolah di Tazkia. Semangat ini ingin terus Ali besarkan.
“Harapan jangka pendeknya, kami ingin Tazkia itu lebih banyak cabangnya sehingga lebih banyak orang yang menikmati, dan jumlah anak yatim maupun yatim sosial jadi lebih banyak lagi yang sekolah di Tazkia,” pungkasnya. (sil/can)