Ketua Program Studi (Kaprodi) Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Rahmad Hakim, S.HI., M.MA. (Foto: Nelda Humas) |
Kenaikan biaya haji pada awal tahun 2023 ini menyita perhatian sebagian besar masyarakat. Kini biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang awalnya Rp39,8 juta, naik menjadi Rp49,8 juta per jemaah. Sementara biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) berada di kisaran Rp90,05 juta per jamaah. Tidak sedikit masyarakat yang protes dan kecewa atas kebijakan ini.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Program Studi (Kaprodi) Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang Dr. Rahmad Hakim, S.HI., M.MA. mengatakan bahwa setiap negara memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam penetapan biaya haji. Dalam Biaya Penyelenggara Ibadah Haji (BPIH) disebutkan jika sistem lama diberlakukan, dikhawatirkan jemaah tidak bisa memperoleh nilai manfaat yang semestinya di tahun-tahun yang akan datang.
“Biaya haji ini naik karena subsidinya diturunkan, karena porsinya keliru. Dulu 70 persen dibiayai pemerintah, sementara 30 persen dibebankan pada orang yang akan berhaji. Nah sekarang bengkak karena ditukar, 60 persen bagi orang yang akan haji, sedangkan subsidi pemerintah di angka 40 persen. Ini membuat masyarakat menganggap haji ini menakutkan. Pertama, karena biayanya mahal, lalu waktu tunggunya juga jauh dan lama. Selain itu sisi ketidakpastiannya juga jadi lebih tinggi,” ujar Rahmad.
Baca juga : Workshop Psikologi UMM, Intervensi VR Untuk Terapi Phobia
Menurutnya, kebijakan tersebut sah-sah saja karena terkait dengan kebijakan publik. Tetapi yang patut untuk dikritisi adalah pengumumannya yang terkesan mendadak dan spontan. Harusnya ada sosialisasi berkelanjutan karena momentum yang ada kurang tepat. Hal itu tidak lepas dari kondisi pasca Covid-19. Apalagi banyak yang mengalami pemutusan hubungan kerja serta banyaknya harga bahan-bahan pokok yang naik.
Selain itu, Rahmad menegaskan bahwa harus ada transparansi dana, karena beberapa waktu lalu muncul wacana bahwa ongkos hadi di Saudi turun sebesar 30%. Untuk mengantisipasi kecurigaan, perlu adanya penjelasan rinci terkait biaya haji. Sehingga masyarakat juga bisa tahu nilai manfaat yang akan diterima serta kepastiannya.
Baca juga: Dubes Polandia Ajak Wisudawan UMM Lanjut Studi ke Poland
Tentu kebiijakan ini memunculkan banyak kekecewaan dari masyarakat. Namun, Rahmad mengingatkan kembali lagi ukuran kemampuan untuk berhaji. Haji hanya dilaksanakan oleh orang-orang dalam kondisi memiliki bekal secara finansial, baik untuk biaya perjalanan maupun biaya keluarga yang ditinggalkan. Pun harus menguasai pengetahuan manasik haji, hati yang ikhlas, sabar, syukur, tawakkal dan rendah hati, serta harus sehat mental dan fisik.
“Banyak masyarakat yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Tapi jangan khawatir, jika sudah benar-benar dipanggil, maka Allah akan menunjukkan dan memudahkan jalannya,” pungkas Rahmad. (nel/wil)