Ratri Novita Erdianti, SH., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang. (Foto: Haqi Humas) |
Peristiwa pemerkosaan seorang ustaz sekaligus pemimpin pesantren kepada belasan santriwati pada tahun lalu menjadi sebuah kejadian kelam di dunia pendidikan. Setelah melalui panjangnya proses hukum yang awalnya pidana penjara seumur hidup, lalu yang terbaru berubah menjadi vonis hukuman mati. Melihat akan hal itu, Ratri Novita Erdianti, SH., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menanggapi kasus tersebut dari aspek hukum.
Ratri, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa peraturan akan kasus tersebut sudah tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Di dalam UU terkait, telah diatur pemberian hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual. Menurutnya, apa yang dilakukan sang pelaku pemerkosaan adalah kejahatan serius yang melebihi batas manusia.
Namun di sisi lain hukuman mati tentu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Meski begitu, keputusannya masih tergantung pada aspek jumlah korban, dampak yang dirasakan hingga pelaku. Dari tiga aspek tersebut, akan muncul pertimbangan yang menentukan berat atau ringannya hukuman.
“Kejahatan yang dilakukan pelaku menurut saya telah melewati batas kemanusiaan. Maka kejahatan yang serius harus diberi hukuman yang serius pula agar memberikan efek jera. Tidak hanya bagi pelaku tapi juga bagi masyarakat luas,” imbuhnya.
Dosen asal Pasuruan itu mengungkapkan bahwa vonis hukuman mati untuk kasus terkait adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia bagi pelaku kekerasan seksual. Menurutnya, ketika hakim memutuskan sebuah kasus pidana, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Utamanya yang menyangkut aspek korban yang harus dilihat secara psikologis. Pun dengan masa depan yang akan dihadapi oleh belasan korban tersebut.
Lebih lanjut. ketika nanti ada kasus yang serupa, disparitas bisa saja terjadi. Maksudnya adalah hukuman yang diputuskan nantinya tidak akan selalu sama dengan kasus pemerkosaan ustaz tersebut. Hal itu karena kondisi dan situasi kasus yang mungkin berbeda pula. Begitupun jika mengajukan upaya banding yang tidak selalu menghasilkan hukuman yang ringan, tapi bisa juga menjadi lebih berat.
“Ketika mengajukan banding, bukan berarti hukuman pelaku pasti diringankan. Bahkan bisa jadi sebaliknya yakni diberikan hukuman yang lebih berat,” ucapnya.
Ratri kembali menjelaskan bahwa peristiwa kelam dan hukuman mati kepada pelaku ini, menjadi pembelajaran dan edukasi bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan serius. Selain itu, peristiwa ini nyatanya juga berefek pada penurunan kepercayaan masyarakat kepada instansi pendidikan. Khususnya pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren.
“Tentu perlu adanya pencegahan agar hal yang sama tidak terjadi, baik di lingkungan Ponpes, sekolah, dan tempat umum. Negara juga harus mengambil peran signifikan untuk menjamin keamanan bagi seluruh masyarakatnya. Pun dengan upaya monitoring yang harus dilakukan oleh orang tua, guru, dinas pendidikan hingga kementerian agama,” ujarnya. (Haq/Wil)