Gonda Yumitro, SIP. MA. Ph.D. dosen Program Studi Hubungan Internasional (Prodi HI) (Foto : Istimewa) |
Tak mudah bagi para mantan teroris untuk kembali ke masyarakat. Ada beberapa tantangan yang kerap jadi kendala. Dari sisi sosial, sebagian masyarakat masih memiliki rasa curiga terhadap para mantan teroris. Bahkan beberapa mantan teroris memilih untuk pindah dan tidak pulang ke kampung halaman. Hal itu ditegaskan Gonda Yumitro, SIP. MA. Ph.D. selaku dosen Program Studi Hubungan Internasional (Prodi HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Menurutnya, sikap masyarakat memasang jarak dengan mantan teroris ini membuka peluang bagi mereka untuk kembali ke kelompok radikalnya. Apalagi sebagian dari mantan teroris ini awalnya terlibat dengan kelompok radikalisme akibat pergaulan. “Kedua, dari sisi ekonomi. Rata-rata para mantan teroris ini mengalami masalah secara ekonomi. Faktornya macam-macam, termasuk karena pendidikan yang kurang,” ujarnya.
Baca Juga : Selesaikan Magang, Ketua Peradi Malang Yakin Alumni CoE Asisten Advokat UMM Mumpuni
Adapun ia memang tengah meneiti terkait model comprehesive collaboration deradikalisasi mantan teroris di Jawa Timur. Utamanya melalui pendekatan sosial ekonomi. Gonda pernah mendengar dari salah satu mantan teroris bahwa ia hanya sempat menempuh sekolah beberapa tahun sebelum masuk penjara. Lalu ketika keluar dari penjara, mereka menyadari bahwasannya terbatas secara ekonomi dan skill. Padahal kehidupan mereka harus tetap berjalan.
“Hal itu membuka peluang jaringan teroris aktif untuknya mengajaknya kembali dengan iming-iming bantuan ekonomi,” sambungnya.
Di Malang sendiri jejaring teroris menurut Gonda cukup kuat. Bahkan Malang menjadi lokasi yang sangat strategis. Alasannya, Malang dikenal sebagi kota Pendidikan dan para teroris ingin berburu kader. Kedua, Malang dikenal sebagai kota wisata. Kondisi ini memungkinkan para teroris leluasa untuk bergerak dan berkoordinasi karena kontrol sosial masyarakatnya lebih rendah.
“Semisal mereka ingin menyewa villa untuk berkoordinasi pun orang akan mengira bahwa mereka hanya ingin berwisata,” katanya.
Gonda pun menegaskan bahwa dalam program deradikalisasi atau penetralan pemikiran-pemikian bagi individu yang sudah terpapar radikalisme, dibutuhkan kerjasama semua elemen. Bukan hanya pemerintah dan masyarakat, pendekatan sosial dan ekonomi pun harus diterapkan.
“Para mantan teroris ini jangan dilepas begitu saja, sebab mereka paham ideologi teroris serta mengetahui jejaringnya. Secara sosial, harus ada perubahan model dalam memperlakukan mereka, termasuk secara ekonomi. Orang kalau sudah bermasalah dengan ekonomi, maka yang lainnya jadi ikut bermasalah juga. Karena sebagain orang yang membunuh, merampok dan lainnya itu disebabkan oleh faktor ekonomi,” katanya.
Baca Juga : UMM Gandeng Perusahaan Singapura untuk Kembangan SDGs
Urusan teroris tidak sesederhana yang dikira. Banyak masyarakat menganggap mereka sebagai orang yang kasar, suka membunuh dan menghalalkan segala cara dikehidupan nyata. Namun faktanya tidak seperti itu. Mereka melalui proses yang panjang untuk menjadi teroris. Banyak faktor, seperti keluarga, pendidikan, ekonomi, pergaulan, dan faktor lain yang mendasari.
“Saya kerap mengundang mantan teroris ke kelas untuk berbagai cerita. Tujuannya agar mahasiswa bisa lebih antisipasi, bahwa ternyata mereka yang menjadi teroris itu awalnya bukan karena kemauan sendiri,” jelas Gonda yang sudah 11 tahun mengkaji terorisme. (Dev/Wil)