Dosen UMM Bahas Urgensi Cyber Security di Dunia Digital

Author : Humas | Selasa, 12 Oktober 2021 04:47 WIB
Seseorang tengah menyelami dunia maya (Foto : Wildan)
Bak pisau bermata dua, kemajuan teknologi tidak hanya menyediakan kemudahan dan manfaat semata. Namun lebih dari itu juga memberikan bahaya bagi para penggunanya. Jika tidak waspada serta berhati-hati, tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa menjadi korban dari cyber crime. Mulai dari penggunaan akun media sosial palsu hingga kebocoran data yang beberapa kali terjadi belakangan.
 
Ditanya ihwal tersebut, Wakil Kepala Laboratorium Informatika Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syaifuddin, S.Kom., M.Kom. menerangkan bahwa teknologi dan internet kini sudah menyatu dengan kehidupan manusia. Mulai dari paket data,  hingga kebutuhan belanja yang kini bisa dilakukan dengan online. Maka sudah barang tentu, keamanan siber juga otomatis menjadi salah satu aspek penting.

Baca Juga : Mahasiswa UMM Sabet Juara Nasional berkat Penggunaan Kulit Kacang Tanah untuk Asam Urat

Dosen Informatika UMM itu menambahkan ada beragam kejahatan siber yang bisa ditemui. Salah satu yang paling sering terjadi adalah kebocoran data pribadi. Baik yang tersebar karena kelalaian personal maupun akibat peretasan yang dilakukan oknum pada instansi pemilik data terkait. “Fenomena kebocoran ini tentu memiliki beragam data. Mulai dari nama, alamat, nama ibu kandung, nomor telepon genggam bahkan juga preferensi pengguna yang ada di aplikasi,” ungkapnya melanjutkan.
 
Syaifuddin mengatakan alamat email dan nomor telepon genggam adalah data yang seringkali tersebar. Padahal, kedua data tersebut sangat berharga karena bisa digunakan untuk memasarkan produk. Ia menambahkan salah satu contoh akibatnya adalah pesan singkat yang biasa masyarakat terima dari nomor-nomor tidak dikenal. Foto KTP juga seringkali dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab untuk mengajukan pinjaman online (pinjol). 

Baca Juga : Mahasiswa UMM Hibur Lansia dan Anak-anak di Rumah Asuh

Selain itu, kegiatan sederhana yang ternyata beresiko adalah penggunaan VPN. Syaifuddin juga menjelaskan hasil studi keamanan data yang ia peroleh. Dari 300 penyedia VPN, ada sekitar 38% yang di dalamnya terdapat advertising, adware, dan malware. Kemudian adapula sekitar 84% yang membocorkan trafik data penggunanya ke pihak lain. “Begitupun ada sekitar 18% dari mereka yang tidak memiliki enkripsi,” tegasnya menerangkan.
 
Ia mengingatkan kepada  masyarakat bahwa data yang menurut kita belum penting saat ini, bisa jadi akan sangat menguntungkan di kemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran diri untuk berhati-hati dalam mengisi berbagai formulir. “Kita tidak tahu data-data yang sudah kita isi di aplikasi atau bahkan google form tersebut akan aman atau tidak. Mungkin saja penyedia formulir itu akan menyebarkannya dan memberikan kerugian bagi pemilik data,” ujarnya.
 
Syaifuddin menilai, terjadinya kasus kejahatan siber tidak lepas dari renggangnya peraturan dan regulasi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan wilayah lain yakni Uni Eropa, mereka memiliki peraturan general data protection regulation (GDPR) yang memiliki kekuatan yang bagus. Banyak developer yang takut dijatuhi hukuman ketika data yang mereka kumpulkan bocor ke pihak lain.
 
Menurutnya, regulasi tersebut cukup efektif dengan menjatuhkan hukuman denda dengan nilai yang setimpal, bahkan bagi perusahaan yang besar sekalipun. “Hal itu bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia. Belum ada regulasi tegas yang mengatur mengenai hal-hal seperti ini,” ujarnya.
 
Tidak adanya peraturan terkait hal itu membuat para developer aplikasi pemerintah maupun swasta bisa lepas tangan jika data-data yang diperoleh bocor. Oleh karenanya, Syaifuddin menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi hal yang mendesak. Sehingga jika kasus serupa terjadi lagi, sudah ada regulasi dan hukuman pasti bagi para pengembang yang lalai.
 
Terakhir, Syaifudin berharap akan adanya sinergisitas antara masayrakat, pengembang, instansi serta pemerintah dalam menanggulangi kasus kejahatan siber. Paling tidak, pemerintah bisa mempercepat pengesahan peraturan yang jelas. Pun dengan memberikan arahan-arahan serta sosialisasi demi memperkecil ancaman kejahatan siber yang mengintai. (*/wil)
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image