Illusrasi seseorang menganggap spirit doll (Foto: Syifa/humas) |
Trend adopsi spirit doll atau boneka arwah di kalangan artis tanah air menjadi perbincangan hangat beberapa hari terakhir. Boneka arwah tersebut diperlakukan layaknya anak sungguhan dengan diberi pakaian bagus serta aksesoris. Bahkan salah seorang selebritis memiliki jadwal rutin untuk memandikan dan menjemur dua spirit doll yang diadopsinya.
Melihat dari perspektif psikologi, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si., mengatakan bahwa setiap manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki kebutuhan psikologis tertentu yang berkaitan dengan relasinya dengan orang lain. Ia melihat bahwa orang-orang yang mengadopsi boneka arwah tersebut kemungkinan karena merasa kesepian, tidak memiliki teman untuk bercerita, atau memiliki kebutuhan untuk menyalurkan kasih sayang. Namun tidak bisa terpenuhi karena ada hambatan-hambatan tertentu.
Misalnya saja tidak memiliki anak padahal sangat menginginkannya atau kesulitan dalam menjalin kedekatan dengan orang lain. Jika semua kebutuhan psikologis ini terpenuhi, maka seseorang biasanya tidak akan mencari benda mati sebagai pengganti.
“Kemungkinan, mereka tidak dapat menjalin kedekatan yang memuaskan dengan orang lain, keterampilan sosial rendah, ataupun tidak memiliki rasa percaya pada orang untuk menceritakan isi hatinya. Bisa juga karena adanya keinginan untuk menyalurkan rasa kasih sayang dan merawat orang lain namun tidak terpenuhi. Hal-hal itulah yang mendorong beberapa orang mencari alternatif lain sebagai pengganti teman yaitu spirit doll,” ungkap dosen kelahiran Jakarta tersebut.
Baca Juga : Poster Pencegahan Covid Mahasiswa UMM Jadi Juara Nasional
Naning melihat bahwa fenomena adopsi boneka arwah ini mirip dengan orang yang memilih memelihara dan menjalin kelekatan dengan hewan peliharaan. Hanya saja objek yang dipilih berbeda. Ia juga melihat bahwa pengadopsi boneka arwah tidak bisa dikatakan mengalami kelainan mental sepanjang fungsi-fungsi psikologisnya masih berjalan normal. Begitupun denganproses pikir yang masih koheren dan tidak mengganggu perannya dalam menjalani kehidupan.
Disampaikan Kepala Prodi Magister Psikologi Profesi UMM itu bahwa dalam mendiagnosis apakah seseorang memiliki masalah mental perlu melihat banyak faktor. Salah satunya melalui gejala-gejala yang tidak normal. Tidak hanya seberapa banyak jumlah gejala, namun juga melihat intensitas dari gejala-gejala tersebut.
Baca Juga : Sekolah Unggas dan Udang UMM Kewalahan Layani Permintaan Iduka
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si. (Foto : Syifa) |
“Mungkin ada yang sekadat ikut-ikutan. Trend spirit doll juga bisa menjadi pemenuhan kebutuhan psikologis yang tidak dapat dipenuhi karena adanya hambatan tertentu. Sesekali bercerita pada boneka arwah mengenai beban hidup boleh-boleh saja. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengatasi hambatan-hambatan psikologis itu. Sehingga dapat menyalurkan kebutuhan psikologis dengan cara yang lazim,” tuturnya.
Lebih lanjut, Naning mengungkapkan bahwa labeling negatif yang diberikan masyarakat dapat juga menyebabkan para pengadopsi boneka arwah menjadi tertekan. Alih-alih memberi label tidak waras, akan lebih bijak kalau lingkungan sekitar mencoba memahami alasan atau penyebab mengapa orang tersebut memilih untuk mengadopsi spirit doll.
“Jika kita tahu akar penyebab seseorang memilih boneka arwah, kita jadi tahu cara untuk membantu mengatasinya. Misalnya, jika seseorang tersebut memilih boneka arwah karena merasa kesepian dan kehilangan rasa percaya pada orang lain, maka kita bisa membantu untuk meningkatkan keterampilan sosialnya agar bisa menjalin pertemanan dan kedekatan dengan orang lain. Jadi, mencari tahu dan memahami penyebab utama adalah hal yang terpenting,” tandasnya. (syi/wil)