Syafriyana Hijri, S.IP., M.IP. dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang. (Foto: Haqi Humas) |
Isu pemakaran di tanah Papua sudah sudah ada sejak kepemimpinan presidan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Isu ini kembali mencuat kembali baru-baru ini setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otomi Baru di bumi Papua, pada akhir Juni lalu dalam rapat paripurna. Melihat akan hal itu, Yana Syafriyana Hijri, S.IP., M.IP. selaku dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memberi tanggapannya.
Yana, sapaan akrabnya mengatakan bahwa akan ada tiga provinsi baru di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan dengan ibukota Kabupaten Merauke dan Provinsi Papua Tengah dengan ibukota Kabupaten Nabire. Kemudian yang terakhir yakni Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kota di Kabupaten Jaya Wijaya. Adapun dasar pemekaran provinsi ini yakni untuk pemerataan pembangunan dan juga mendekatkan layanan public bagi masyarakat.
“Tentu yang menjadi dasar pemekaran daerah sejak dulu adalah pemerataan pembangunan dan pendekatan layanan publik” ucap Yana menjelaskan.
Meski begitu, ia menuturkan bahwa adanya pemekaran daerah tidak menjamin pembangunan yang merata dan kesejahteraan masyrakat. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kabupaten di Papua yang merupakan hasil pemekaran pada tahun 2002 dan 2008. Mayoritas kabupaten itu justru masuk di daftar daerah miskin pada 2020. Salah satu contohnya yaitu Kabupaten Deiyai yang memiliki persentase 41% masyarakat miskin dari total penduduk setempat.
“Aspek yang membuat pemekaran tidak maksimal adalah sumber daya manusia (SDM) yang minim. Jika SDM yang ada tidak memadai, tentu pengelolaan pemerintahan daerah pemekaran akan tidak berjalan dengan semestinya. Bahkan malah akan mengarah pada indikasi korupsi. Di samping itu juga kurangnya persiapan dari pemerintah akan daerah pemerakan,” tegasnya.
Terkait proses pemekaran, Yana menjelaskan bahwa sebelum 2004, secara administratif harus melalui Kementerian Dalam negeri (Kemendagri). Persyaratan yang perlu disiapkan juga beragam serta peninjauan yang cukup pelik. Hal itu membuat pengajuan pemekaran daerah hanya sedikit.
Tetapi setelah 2004, proses pengajuan pembentukan daerah otonomi baru bisa melalui DPR RI. Menurutnya, hal ini memang memudahkan namun cenderung lebih politis. “Namun saya rasa hal ini cenderung lebih politis. Apalagi melihat sikap para pejabat kita saat ini,” imbuhnya.
Dosen asli Serang, Banten ini berharap pemerintah pusat harus betul-betul memikirkan pemekaran agar tidak seperti sebelumnya yang justru mengalami kemunduran. Di samping itu, pemerintah harus benar-benar menyiapkan aspek SDM guna keberlangsungan provinsi baru yang bisa lebih berkembang.
“Dengan begitu, masyarakat bisa benar-benar merasa sejahtera. Pun dengan pelayanan publik yang semakin baik. Maka dari itu, pemerintah pusat harus melakukan pendampingan sehinga daerah pemekaran bisa mengembangkan potensi yang ada,” pungkasnya. (haq/wil)