DINAMIKA hubungan Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) tengah menjadi sorotan, terutama pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 43/PUU-XII/2015. tentang hilangnya kewenangan KY dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim di peradilan tinggi pertama.
Mengangkat isu tersebut, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Komisi Yudisial mengadakan seminar hukum, yang berlangsung di UMM (28/4). Seminar menghadirkan Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari, Mantan Ketua KY 2005-2010 Busyro Muqoddas, Ketua Dewan Etik Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Syaiful Bakhri, Hakim Tindak Pidana Korupsi Sumali, dan Dosen Fakultas Hukum (FH) UMM Sidik Sunaryo.
Aidul Fitriciada mengakui, dalam satu dasawarsa terakhir, KY dan MA tidak mampu menjalin hubungan kemitraan yang diharapkan. Alih-alih bermitra dalam mewujudkan independensi hakim, menurut Aidul, KY dan MA justru terlibat dalam konflik antar lembaga negara yang saling menegasikan satu sama lain.
Bagi Aidul, situasi konflik yang saling menegasikan ini bisa merugikan masa depan hukum dan peradilan di Indonesia karena pengawasan terhadap hakim oleh KY menjadi tidak efektif karena ada resistensi dari MA. Di lain pihak, kata Aidul, hal itu akan mengurangi transparansi dan akuntabilitas hakim dan peradilan di MA karena minimnya pengawasan dari luar.
“Apabila situasi ini berlanjut, dikhawatirkan akan menyuburkan praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam dunia peradilan Indonesia,” papar Aidul.
Aidul menyadari, putusan MK No. 43/PUU-XII/2015 telah menghilangkan sebagian peran KY dalam mempersiapkan calon hakim yang berkualitas dan berintegritas. Putusan tersebut menghilangkan kewenangan KY dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim. Namun, ujar Aidul, KY tetap berpeluang memberdayakan para hakim melalui pembinaan dan etika profesional hakim.
Senada dengan itu, Mukhtie Fadjar mengatakan, putusan MK tersebut telah mengembangkan tiga hal, yaitu kecenderungan eksesifikasi kewenangan, keangkuhan sektoral untuk tak mau berbagi kewenangan, dan keengganan berfikir out of the box.
“Betapapun, putusan MK sudah final dan harus dihormati. Dengan demikian, untuk sementara masa depan KY dalam rekrutmen hakim kembali pada desain konstitusi secara tekstual. Saya berharap, terjadi regenerasi yang menghasilkan hakim konstitusi yang mau menerangan jauh ke depan, mampu menangkap pesan konstitusi dan tidak terpaku pada rumusan kata-kata verbal dalam pasal-pasal konstitusi,” jelas dosen luar biasa FH UMM ini.
Lebih dari itu, Busyro Muqqodas menilai putusan MK tersebut telah mereduksi hak-hak rakyat untuk memperoleh hakim yang jujur, berkompetensi tinggi, dengan rekam jejak yang teruji oleh publik. “Putusan itu tidak membuka ruang untuk mencegah terjadinya praktek KKN yang selama ini terjadi secara masif di sejumlah lembaga kenegaraan yang berujung pada terjadinya sistem yang korup,” tandas ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini. (roh/han)