Tongat (kanan) saat membahas tema serupa dalam UMMTalks. (Foto: Humas UMM) |
MASYARAKAT Indonesia sedang ramai membicarakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Menurut JPU, penyerang tidak sengaja menyiram air keras ke mata Novel. Frasa “tidak sengaja” kemudian menjadi trending di media sosial. Menyikapi isu ini, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Dr. Tongat, SH., MHum. menyampaikan, bahwa unsur tidak sengaja dalam kontruksi suatu tindak pidana termasuk dalam tindak pidana penganiayaan terhadap Novel Baswedan harus dilihat secara cermat. Mengingat, unsur ketidaksengajaan (tidak sengaja) sebagai bagian dari kesalahan akan sangat menentukan berat ringannya pidana kepada seorang pelaku tindak pidana.
"Sebagai bagian dari kesalahan, unsur tidak sengaja dalam hukum pidana perlu melihat secara obyektif. Mengingat, dalam konteks hukum pidana sekarang dianut konsep kesalahan secara normatif. Karena itu untuk menentukan apakah seseorang bisa dianggap lalai atau tidak sengaja melakukan suatu tindak pidana, harus dilihat bagaimana penilaian secara obyektif terhadap hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya. Penilaian secara obyektif tersebut maksudnya adalah penilaian dari luar diri si pelaku. Tidak sekedar dilihat hubungan batin antara pelaku dan perbuatannya.
Intinya, ada tidaknya ketidaksengajaan itu tidak didasarkan pada pengakuan sunyektif pelaku. Sebab, orang punya kecenderungan berbohong. Sehingga akan sulit, jika pembuktian atas kesalahan itu ditumpukan pada pengakuan subyektif pelaku. Dalam konteks kasus Novel ini silakan diuji, apakah mungkin orang yg bersengaja datang ke suatu tempat naik sepeda motor dengan rencana matang untuk menyiramkan air keras pada seseorang, lantas perbuatannya itu dianggap "tidak sengaja menyiram korban," ujar Dr. Tongat dalam acara Alumni Bicara yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponogoro (Undip) baru-baru ini (26/6). Tongat lantas memberikan analisis secara hukum, mengapa penyerang Novel dituntut rendah.
Baca juga: Tawarkan Geodiplomasi sebagai Internasionalisasi Bahasa
Tongat yang merupakan Dekan Fakultas Hukum UMM ini memantik pendiskusian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan berikut: Sejak kapan “mata” menjadi objek tersendiri dalam penganiayaan? Benarkah unsur “tidak sengaja” dapat melekat pada unsur perbuatan dalam konteks tindak pidana penganiayaan? Dan, rumus mana yang digunakan sehingga muncul tuntuan 1 (satu) tahun? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu, Tongat lantas menguraikan tentang bagaimana konstruksi hukum tentang tindak pidana penganiayaan untuk menunjukkan apa sebenarnya yang menjadi obyek tindak pidana penganiayaan dan menunjukkan, bahwa dalam konteks tindak pidana penganiayaan yang didakwakan kepada penyerang Novel, tidak satupun yang memuat unsur ketidaksengajaan pada aspek perbuatannya.
“Konstruksi hukum penganiayaan, dijelaskan yakni suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, akibat mana semata-mata merupakan satu-satunya tujuan si pelaku”. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan yang dimaksud dalam Pasal 351-358 KUHP, termasuk yang didakwakan kepada pelaku penyerang Novel. Jadi dalam berbagai tindak pidana penganiayaan itu, tidak ada yang unsur perbuatannya dilakukan tanpa sengaja. Unsur ketidaksengajaan dalam pasal-pasal tersebut hanya mungkin melekat pada aspek akibat, bukan pada aspek perbuata,” demikian disampaikan Tongat dalam diskusi online yang diadakan via Zoom.
Baca juga: Lulus Skripsi di Semester 6 Berkat Studi Ekskursi di Bangkok
Lebih dalam, Tongat menyatakan, bahwa objek tindak pidana penganiayaan adalah tubuh. Selanjutnya, dijelaskan, bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tubuh merupakan keseluruhan jasad manusia dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sementara mata, merupakan bagian dari tubuh itu sendiri. “Dalam tindak pidana penganiayaan, mata bukan objek tersendiri yang terpisah dari tubuh,” tegasnya. Ia kembali mengajukan pertanyaan kepada hadirin, benarkah unsur ketidaksengajaan dapat melekat pada konteks tindak pidana penganiayaan?
Terkait tuntutan satu tahun penjara kepada pelaku, Tongat mempertanyakan rumus yang digunakan oleh JPU. Pertanyaan itu berangkat dari beberapa logika sebagai berikt. Pertama, semua pasal yang didakwakan kepada pelaku adalah delik dolus. “Argumentasi yang menyatakan “terdakwa tidak sengaja” menyiram air keras ke mata (tidak sengaja melukai mata), hanya mungkin ada jika perbuatan dalam penganiayaan berunsur kealpaan,” demikian disebut Tongat.
Kedua, dalam yurisprudensi juga sudah demikian terang, sambung Tongat, penyiraman air keras itu kualifikasinya adalah penganiayaan berat. Ia lantas berkaca pada sejumlah kasus penyiraman air keras. Misalnya kasus Lamaji yang dituntut 15 tahun penjara karena menyiram air keras ke pemandu karaoke dan beberapa yurisprudensi sejenis.
Ia berkesimpulan, penegak hukum telah mereduksi konstruksi tindak pidana penganiayaan, sehingga melahirkan penafsiran yang tidak tepat dan tidak valid. Dalam tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351-358 KUHP, termasuk pasal yang didakwakan kepada terdakwa penyerang Novel, tidak ada aspek “perbuatan” yang berunsur kealpaan. Unsur kealpaan dalam tindak pidana tersebut hanya mungkin melekat pada unsur “akibat”. Jika JPU tetap pada argumentasinya, bahwa Terdakwa TIDAK SENGAJA menyiram air keras ke mata Novel Baswedan, maka Terdakwa harus dibebaskan atas dakwaan Pasal 353 (2) KUHP. (can)