Ir. Erwin Rommel, M.T., dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Foto: Istimewa) |
Gempa yang melanda Cianjur pada Senin (21/11) kemarin telah meluluh lantahkan berbagai bangunan dan menelan korban jiwa. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyampaikan bahwa gempa ini merupakan siklus 20 tahunan yang akan melanda Cianjur. Melihat fenomena tersebut, Ir. Erwin Rommel, M.T., dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan ada beberapa hal yang membuat banyaknya bangunan roboh saat gempa berkekuatan 5.6 magnitudo itu menerjang Cianjur. Beberapa penyebabnya adalah posisi pusat gempa, jenis patahan, kondisi lapisan tanah, serta kondisi bangunan yang ada di Cianjur.
Erwin, sapaannya, menjabarkan bahwa pada kejadian gempa di Cianjur, pusat gempa berada pada jalur sesar Cimandiri dengan kedalaman kurang dari sepuluh kilometer yang masuk dalam kategori gempa dangkal. Selain dekat dengan pusat gempa, karakteristik tanah di daerah Cianjur relatif cukup labil. Hal ini terlihat dari topografi tanah di Cianjur yang berupa lereng-lereng bukit dan pegunungan. Kondisi tersebut menyebabkan tanah menjadi rawan longsor jika terjadi gempa.
"Sebagian besar bangunan yang berdiri di daerah Cianjur adalah bangunan rendah dan bangunan sederhana yang belum memenuhi kaidah rumah tahan gempa. Kebanyakan masyarakat awam beranggapan bahwa gempa yang terjadi lebih berdampak signifikan pada bangunan tinggi saja. Nyatanya bencana gempa bisa mengakibatkan kerusakan pada semua bangunan, baik rumah tinggal maupun gedung-gedung bertingkat," kata dosen asal Medan tersebut.
Baca juga: Tips Mahasiswa UMM Sukses Ikuti Double Funding Beasiswa
Terkait spesifikasi rumah tahan gempa, Kepala Badan Pengawasan Pembangunan Kamus (BP2K) UMM itu mengatakan bahwa untuk membangun rumah sederhana tahan gempa ada sederet hal yang harus diperhatikan. Pertama, membuat bangunan dengan bentuk sesimetris mungkin. Kedua, cukup tersedianya pengaku pada dinding. Minimal setiap 12 meter persegi luasan dinding harus diberikan kolom dan balok praktis. Ketiga, memberi pengangkuran yang cukup pada setiap sambungan elemen pada bangunan. Misalnya sambungan dari dinding ke balok pondasi, sambungan dinding ke kolom, ataupun sambungan balok ke konstruksi atap.
“Ada beberapa model bangunan sederhana tahan gempa sudah dikenalkan kepada masyarakat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Di antaranya rumah sederhana tahan gempa berbahan kayu, bambu, dan beton. Spesifikasi utama yang harus dipenuhi agar rumah tahan gempa yakni adanya integritas bangunan,” katanya.
Baca juga: Rektor ITB Ahmad Dahlan dan Akademisi UMY Kupas Buku Connected Leadership
Rumah tahan gempat dapat tercipta jika seluruh elemen-elemen dari bangunan mulai dari pondasi, balok sloof, kolom, dinding, serta balok atap tersambung dengan baik dan benar. Selain itu, perlu adanya penyalur beban dari satu elemen ke elemen lain agar bangunan tidak mudah runtuh dan dapat menahan beban gempa.
Dalam realisasinya, pembuatan rumah tahan gempa memang membutuhkan biaya yang lebih mahal dibanding rumah pada umumnya. Namun Erwin mengatakan bahwa hal tersebut bisa disiasati dengan penggunaan bahan-bahan bangunan yang tersedia di sekitar lingkungan tempat tinggal. Masyarakat bisa menggunakan bambu atau rotan sebagai pengganti tulangan baja. Selain itu, penggunaan kayu juga bisa menjadi alternatif bahan pengganti lainnya.
“Intinya, konsep pembangunan rumah tahan gempa adalah membuat bangunan menjadi lebih ringan, lebih daktail, dan adanya penyaluran beban dari setiap elemennya sampai ke pondasi. Jika kita bisa memanfaatkan kekayaan alam sebagai pengganti bahan bangunan, maka rumah tinggal tahan gempa bisa menjadi lebih murah dan terjangkau di masyarakat,” ungkap ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) wilayah Malang Raya itu.
Dalam pembangunan rumah tahan gempa, selain mengikuti regulasi Kementrian PUPR, Erwin juga memberikan beberapa tips lainnya. Salah satunya yakni mengetahui perkembangan kondisi patahan atau sesar yang ada disekitar tempat tinggal. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memahami tingkat kerawanan gempa pada desain bangunan kita agar bisa lebih siap. Selanjutnya adalah pemberian edukasi kepada masyarakat tentang mitigasi dan penyelamatan korban.
“Perlu adanya edukasi kepada masyarakat tentang antisipasi dan mitigasi ketika terjadi gempa bumi. Selain itu, Pemerintah Daerah dan Pusat bisa melakukan pemetaan dan relokasi secara menyeluruh terhadap bangunan-bangunan yang telah berdiri. Utamanya terhadap bangunan yang berada didaerah jalur sesar dan juga yang berpotensi untuk menjadi sesar aktif dikemudian hari,” pungkasnya. (syi/wil)