|
Prof. Dr. Muslimin Machmud, M.Si guru besar bidang komunikasi media tradisional. (Foto: Istimewa) |
Salah satu guru besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Dr. Muslimin Machmud, M.Si. diundang dan menjadi pembicara di simposium internasional Forum Dunia Melayu Dunia Islam yang diadakan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) di Kuala Lumpur Malaysia. Adapun acara ini merupakan inisiasi dari Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri dengan menghadirkan lebih dari 70 tokoh intelektual dari berbagai negara.
Dalam simposium tersebut, Muslimin mengatakan bahwa bahasa melayu versi Indonesia telah membuktikan diri mampu menjadi bahasa nasional. Internasionalisasi juga terus dilakukan melalui banyak hal. Mulai dari mengirimkan guru ke berbagai negara untuk mengajarkan Bahasa Indonesia hingga menerima mahasiswa asing untuk belajar Bahasa Indonesia.
Meski kans bahasa melayu versi Indonesia cukup bagus, namun ada beberapa syarat yang menurutnya perlu dipenuhi. Salah satunya yakni menerima dan memaklumi perbedaan yang ada. Baik itu dalam aspek intonasi, dialek dan juga kebiasaan.
“Maka solusinya adalah perlu adanya tim yang berasal dari berbagai negara yang menggunakan bahasa terkait untuk menyamakan persepsi. Begitupun dengan upaya mengesampingkan polemik dan ego politik,” ungkapnya.
Dalam kesempatan lain, Muslimin juga berbicara tentang kans bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa resmi ASEAN. Menurutnya, Bahasa Indonesia memiliki peluang cukup luas ketimbang negara ASEAN lainnya sebab pengguna bahasa ini di dunia sudah lebih banyak. Terhitung sudah ada lebih dari 50 negara di dunia yang membuka prodi Bahasa Indonesia. Apalagi jika menggunakan sistem voting, tentu saja bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa resmi ASEAN.
Ia menyarankan untuk konsisten dalam menggunakan bahasa Indonesia di acara resmi maupun tidak resmi. Misalnya saja pemerintah yang mengirim surat ke negara lain dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan dilampiri terjemahan. Selain itu, ia mendorong masyarakat Indonesia untuk sebisa mungkin menggunakan semua platform media dalam memperkenalkan Bahasa Indonesia. Terakhir, Muslimin berharap Indonesia tidak omong doang alias harus ada aksi yang jelas dan konkret.
Adapun Muslimin merupakan guru besar bidang komunikasi media tradisional. Ia menilai bahwa bidang ini tidak banyak yang melirik dan mendalaminya. Akhirnya, Muslimin meyakinkan diri dan mengambil kajian tentang media warisan.
Menurutnya, salah satu faktor kenapa bidang ini tidak banyak yang mengkaji adalah karena kata “tradisional”. Kata tersebut dianggap kuno, tertinggal dan tidak memiliki nilai. “Padahal saya melihat bahwa media tradisional mempunyai pesan yang luar biasa akan kebajikan dalam kehidupan,” ujar Ketua Forum Dekan FISIP Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) itu.
Bagi Muslimin, warisan merupakan budaya nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu tidak lepas akan perannya dalam meredam gesekan-gesekan sosial yang terjadi di masyarakat. (Ros/Wil)