Haedar Nashir Ajak Intelektual Muda Muhammadiyah Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah

Author : Humas | Rabu, 29 Juni 2016 11:32 WIB
Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat memberi arahan di acara Tadarus Pemikiran Islam, Rabu (29/6). Foto: Rino Anugrawan

KETUA Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Haidar Nashir, mengatakan jika ingin membaca Muhammadiyah kini dan masa depan perlu dilakukan rekonstruksi ideologi. Baginya, tidak mungkin ber-Muhammadiyah tanpa memahami ideologinya. Hal ini disampaikannya saat membuka gelaran Tadarus Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) di Auditorium UMM, Rabu (29/6).

Menurut Haidar, Muhammadiyah merupakan gerakan Tajdid, dimana istilah Tajdid ini bisa berganti sesuai dengan konteksnya saat ini. “Pada awalnya Muhammadiyah berfokus pada purifikasi (pemurnian) yang kemudian berkembang dan berubah sesuai konteks zamannya dengan substansi yang sama, yakni amar ma’ruf nahi munkar,” terang Haidar. 

Sementara Rektor UMM, Drs Fauzan MPd dalam sambutannya mengapresiasi tema yang diangkat dalam kegiatan kali ini, yakni Membaca Muhammadiyah: Kini dan Masa Depan. Katanya, tema yang diangkat dalam gelaran tadarus tahun ini bukan hanya sekadar melalui proses perenungan yang panjang, akan tetapi justru lebih merupakan bentuk serpihan makna dari nuzulul quran. “Karena semangatnya membaca saat ini untuk kepentingan umat di masa mendatang,” tandasnya.

Tadarus Pemikiran Islam dihadiri oleh para intelektual muda Muhammadiyah se Indonesia. Foto: Rino Anugrawan

Di materi sesi pertama “Membaca Muhammadiyah: Kini dan Masa Depan”, tadarus yang dihadiri seratus pemikir serta tokoh muda Muhammadiyah se-Indonesia ini menghadirkan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr Muhadjir Effendi MAP. Menurutnya, sejak dulu Muhammadiyah telah dikenal dengan ke egaliterannya membuka diri dalam perekrutan kader. "Dibanding organisasi lain, Muhammadiyah lebih egaliter. Organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah bukan menjadi satu-satunya sumber kader. Kita juga harus menjadikan sumber-sumber lain untuk dijadikan kader,” jelasnya.

Itulah kenapa, lanjut Muhadjir, Muhammadiyah harus memahami keragaman pemikirannya. “Tapi tentu, kader ortom harus tetap menjadi sumber utama kader," tutur pria yang juga wakil ketua Badan Pembina UMM ini.

Selain Muhadjir, hadir pula cendikiawan Muhammadiyah, Dr Zuly Qodir sebagai narasumber dalam sesi pertama ini. Ia berharap supaya kader-kader Muhammadiyah masuk dalam aktivitas keagamaan pada wilayah media publik. Pasalnya, ustadz-ustadz kini memadati acara kultum dan pengajian di televisi tak lebih dari sekedar ustadz intertain. "Yang banyak sekarang ustadz-ustadz selebritis, dan seringkali menyampaikan pesan keagamaan yang tidak kontekstual," kata Zuly dikutip dari pwmu.co.

Zuly Qodir saat memaparkan materi di Tadarus Pemikiran Islam. Foto: Muhammad Zulfikar Akbar

Berperan di media publik sangat penting bagi Muhammadiyah dalam rangka mencerdaskan umat Islam di Indonesia. Apalagi beberapa ustadz yang sering muncul di layar televisi itu mempertontonkan perilaku yang jauh dari ajaran Islam. Misalnya, ada ustadz yang pada bulan puasa ini melarang orang untuk bekerja keras, dan hanya disuruh untuk memperbanyak wirid atau mendekatkan diri pada Allah. "Tentu saja ini sangat problematis. Iya kalau pekerjaan mereka sebagai ustadz enak karena ceramah sana-sini digaji Rp20 juta, lalu bagaimana orang-orang lain?" tutur Zuly.

Sebab itu, lanjut Zuly, Muhammadiyah secara organisatoris perlu mengambil peran ini, dengan tujuan untuk mencerdaskan umat.  (can/jal/zul)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image