Dosen D-III Keuangan dan Perbankan (Foto: Laili Humas) |
Bank Indonesia (BI) baru-baru ini mengumumkan langkah strategis dengan mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional dengan skema de-dolarisasi. Adapun beberapa negara yang telah bersepakat untuk hal ini di antaranya, Malaysia, Thailand, Jepang, Tiongkok dan kini Korea Selatan. Meskipun dolar diakui sebagai mata uang yang kuat di dunia, tetapi ketergantungan terhadapnya tidak lagi dianggap sebagai pilihan yang optimal.
Menurut Syamsul Hadi, SE., M.Si. CRA, selaku dosen D-III Keuangan dan Perbankan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), langkah ini diperlukan untuk memperkuat kedaulatan mata uang lokal dalam persaingan ekonomi global. Terlebih, pengaruh dolar terhadap rupiah sangatlah signifikan, mengingat Amerika adalah mitra perdagangan utama bagi Indonesia dan negara lainnya.
Baca Juga: Unik, Fapsi UMM Rintis Laboratorium Psikologi E-Sport
“Alasannya, dolar telah tersebar di berbagai negara dalam jumlah besar. Hal ini diakibatkan oleh perdagangan pembelian minyak Amerika ke Timur Tengah atau dikenal sebagai petro dolar. Namun, untuk mengantisipasi ekonomi dan politik Amerika yang semakin tersaingi oleh kekuatan Cina, maka perdagangan selain dengan Amerika sebaiknya menggunakan mata uang domestik masing-masing negara,” papar Syamsul.
Menurutnya, langkah tersebut mencerminkan keseluruhan intensitas perdagangan antar dua negara yaitu kurs atau nilai tukar. Kelebihan lainnya adalah prediksi nilai tukar yang dapat dikendalikan bersama kedua negara tersebut. Berbeda jika menggunakan mata uang dolar AS, maka pasti pedagang internasional masih menghitung penguatan atau pelemahan nilai tukar dolar.
“Dua langkah perhitungan atau prediksi dan nilai tukar dolar AS ada di luar kontrol kita. Sehingga, tren penggunaan mata uang domestik masing-masing mitra dagang lebih ‘menyenangkan’ dan terkontrol dengan baik. Hal ini menjadi langkah yang paling aman, mudah, efisien dan win-win solution karena ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi masing-masing negara,” tambahnya.
Baca Juga: Prof. Nazaruddin Dilantik Jadi Rektor UMM 2024-2028
Syamsul juga mengisyaratkan, jika Indonesia ingin menjadi negara kuat dan perekonomiannya maju di tingkat global, maka Indonesia harus mempunyai cadangan devisa dolar AS atau yuan dalam jumlah yang mencukupi dan kuat. Selain itu juga harus memiliki formulasi nilai tukar optimum bagi perdagangan.
Dalam konteks strategi nasional, Ia juga menekankan perlunya berfokus untuk melakukan riset yang mendalam dalam menentukan strategi. Sehingga bisa mendapatkan nilai tukar mata uang yang memberi nilai optimum. Khususnya di bidang perdagangan sebagai salah satu pintu memenangkan persaingan global.
“Jangan menjadi follower market. Kita harus punya target jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai contoh, meniru Cina yang dimulai dari pengumpulan dolar AS hampir 12 tahun. Kemudian, baru bisa melakukan kebijakan fix exchange rate dengan melakukan peg (cantol) dolar AS yang menggunakan formulasi tertentu. Pengamatan fluktuasi nilai dengan standar deviasi saja tidak cukup, perlu formulasi dan negara mana yang mau disasar terlebih dahulu. Tentu, dengan mitra dagang utama yaitu Amerika, Cina dan Jepang,” jelasnya.
Sayangnya, Indonesia masih abai mengenai masalah tersebut, bahkan sudah berlangsung selama puluhan tahun. Alhasil, banyak riset yang menyatakan bahwa nilai ekspor di Tanah Air rendah karena nilai tukar terus melemah dari yang seharusnya.
“Tapi, Indonesia juga telah menerapkan langkah-langkah untuk mengupayakan stabilitas pasokan dolar AS. Sebagai contoh, yakni mewajibkan transaksi di pelabuhan Indonesia menggunakan rupiah, gerakan cinta rupiah, pembatasan membawa dolar keluar negeri, melegalkan dan memperbanyak money changer, suku bunga acuan, dan sebagainya,” pungkasnya. (lai/wil)