Dosen Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Ahmad Fatoni, Lc., M.Ag. (Foto : Istimewa) |
Belakangan ini, banyak masyarakat yang berbondong-bondong memilih pesantren sebagai tempat menimbu bagi anaknya. Pesantren dianggap mampu memberikan pendidikan yang holistic, mulai dari sisi keilmuan, agama, hingga adab dan etika. Terpaan era digital juga menjadi alasan para orangtua was-was dengan masa depan anaknya.
Fenomena itu menarik perhatian Dosen Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Ahmad Fatoni, Lc., M.Ag. Menurutnya, pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Keterikatannya juga sangat kuat karena memiliki kotribusi bagi sumber daya manusia di Indonesia. Utamanya, dari segi akidah maupun akhlak.
“Di Kementerian Agama sendiri tercatat ada lebih dari lima ribu pesantren yang berada di Jawa Timur. Belum lagi di daerah lain, ,” tandasnya.
Baca Juga : Program UMM Pasti Beri Kepastian Wali Mahasiswa Baru
Menurut Fatoni, ada tiga pertimbangan yang dapat digunakan orangtua maupun calon santri saat memilih pesantren. Pertama, menetapkan tujuan anak atau calon santri. Jika ingin menjadi penghafal Alquran maka carilah pesantren yang memiliki program hafalan di dalamnya. Kemudian jika bertujuan menjadi pakar ilmu agama, misalnya literatur keislaman klasih, maka bisa mencari pesantren yang menyediakan sistem pembelajaran berdasarkan kitab kuning atau gundul.
“Jika tujuannya adalah ingin anak menjadi calon intektual ulama, maka carilah pesantren yang memadukan antara pendidikan kepesantrenan dengan pendidikan formal. Biasanya pesantren terkait mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama khas pesantren,” tambahnya.
Pertimbangan selanjutnya saat menentukan pesantren adalah menentukan model yang diinginkan. Secara umum, pesantren dibagi menjadi dua, yakni tradisional dan modern. Tradisional atau salafi biasanya menekankan pada kitab-kitab kuning atau kitab gundul. Bahkan model pesantren ini melarang santrinya untuk mengenyam pendidikan formal supaya lebih fokus menguasai kitab-kitab. Jika santri ingin mendapatkan pendidikan formal, biasanya santri diminta mencari di luar pesantren.
Model lainnya adalah model modern. Di sini santri tidak hanya belajar ilmu keislaman saja namun juga diajarkan ilmu-ilmu umum tentang teknologi maupun bahasa. Dalam kata lain, model modern ini tidak hanya menitikberatkan untuk belajar kitab-kitab kuning saja.
Baca Juga : Rakernah Tarjih Muhammadiyah di UMM: Susun Fikih Lansia dan Budaya Berkemajuan
“Setelah menetapkan tujuan dan model pesantren orangtua atau calon santri harus melihat rekam jejak dari pesantren yang akan dipilih. Misalnya dengan melihat alumni yang ada. Apakah banyak yang berhasil atau sukses dan mampu bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Terakhir Fatoni mengingatkan, menurutnya kunci sukses sebuah pesantren adalah sistem belajarnya. Kemudian juga kualitas alumni, kiprah pimpinan pondok serta jasanya di masyarakat. Jika pesantren itu baru dan belum memiliki alumni, orang tua bisa datang langsung ke lokasi untuk mengecek dan observasi. Melihat secara langsung, apakah pesantren tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan. (Nov/Wil)