Ini Tiga Guru besar Baru FH UMM, Kaji Keadilan Eklektik, Pidana Sosial, hingga Agraria

Author : Humas | Selasa, 06 Februari 2024 14:06 WIB
Prof. Dr. Sidik Sunaryo, M.Si., M.Hum., Prof. Dr. Tongat, M.Hum. dan Prof. Dr. Fifik Wiryani, M.Si., M.Hum. (Foto: Istimewa)

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali menambah jumlah guru besarnya. Kali ini tiga guru besar baru dikukuhkan oleh Fakultas Hukum UMM. Mereka adalah Prof. Dr. Sidik Sunaryo, M.Si., M.Hum., Prof. Dr. Tongat, M.Hum. dan Prof. Dr. Fifik Wiryani, M.Si., M.Hum. Para guru besar yang dikukuhkan pada 7 Februari 2024 ini memiliki fokus penelitian masing-masing. Mulai dari keadilan eklektik, pidana sosial, serta hak menguasai negara dan agragria.

Misalnya saja Sidik yang mengkaji lebih dalam terkait keadilan eklektik. Menurutnya, proses peradilan seringkali menjadi ajang kontestasi memperebutkan jumlah, bukan proses untuk mengerucutkan nilai hikmah. Sementara, keadilan eklektik mengutamakan nilai hikmah di atas nilai jumlah. “Nilai hikmah itu mengandung makna ajaran, sedangkan nilai jumlah hanya sekadar menjelaskan ujaran,” jelasnya.

Baca juga : Dosen UMM Beri Tips Cara Luapkan Marah Tanpa Menyakiti Orang Lain

Saat ini, hilirisasi proses peradilan ditujukan untuk memperbanyak jumlah putusan, bukan untuk membangun nilai hikmah. Proses pemidanaan ditandai dengan jumlah bilangan yang bersifat penderitaan dan jumlah denda material yang bersifat kerugian. Sebaliknya, konsep keadilan eklektik memandang prinsip pemidanaan sebagai elaborasi nilai-nilai hikmah untuk memulihkan dan mengembalikan manusia. Utamanaya pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kesemestaan. 

Di sisi lain, dalam orasi ilmiahnya, Tongat membahas terkait pidana kerja sosial, urgensi, dan kontribusinya dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang. Menurutnya, ada berbagai keunggulan pidana kerja sosial ketimbang pidana perampasan kemerdekaan. Pertama, dapat menghindarkan pelaku dari dampak negatif akibat penempatan pelaku dalam lembaga, seperti stigmatisasi, interaksi negatif dengan narapidana lain, hingga dehumanisasi.

“Kedua, pidana sosial bisa mengurangi populasi penghuni lembaga koreksi. Ketiga, kerja sosial juga akan menekan biaya hidup narapidana di dalam lembaga secara signifikan dan meringankan beban masyarakat sebagai pembayar pajak,” tambahnya.

Tongat menambahkan, kelebihan yang keempat adalah memberikan manfaat yang menguntungkan bagi masyarakat berkat mobiliasi terpidana kerja sosial. Terakhir, pidana kerja sosial juga akan meringankan sekaligus membantu ekonomi keluarga. Terpidana kerja sosial tetap dapat menjalankan pekerjaannya, sehingga tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung keluarga.

Baca juga : Pemateri di Talkshow Pemilu UMM Sebut Mahasiswa Jadi Garda Terdepan

Kajian menarik juga dipaparkan oleh Fifik yang menjelaskan mengenai hak menguasai negara (HMN), konfilk, dan keadilan agraria. Ia menjelaskan, meski Indonesia telah melewati transisi politik dari rezim otoritarian ke pemerintahan yang relatif demokratis, namun Indonesia masih mempertahankan konsep HMN yang diartikulasikan secara hegemonik oleh negara. Misalnya dalam sektor perkebunan, masyarakat hukum adat terpinggirkan karena harus mendapat rekognisi terlebih dahulu dari negara. Sehingga bisa timbul hka untuk mendapat ganti rugi atas tanah.

“Saya berharap penelitian ini bisa mendorong terciptanya budaya baru dalam penyelenggaraan negara, khususnya di sektor agraria sehingga dapat menapai keadilan yang dicita-citakan. Output yang sebenarnya ingin saya capai adalah melakukan redefinisi mengenai konsep HMN yang semula penuh nuansa hegemonik beralih menjadi konsep HMN yang partisipatif dan berkeadilan,” pungkas Fifik. (wil)
 

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image