Nandy Agustin Syakarofath, S.Psi., M.A (Foto : Istimewa). |
Jumlah pengidap masalah kesehatan mental di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2024, diperkirakan jumlah penderita masalah kesehatan mental di Indonesia akan mencapai 3,24 juta orang. Peningkatan jumlah pengidap penyakit mental ini memasuki berbagai kalangan usia, tidak hanya remaja. Meningkatnya populasi yang mengalami gangguan mental disebabkan oleh berbagai faktor.
Nandy Agustin Syakarofath, S.Psi., M.A selaku dosen Fakultas Psikologi (Fapsi) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjelaskan, faktor-faktor tersebut dapat berupa perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini mencakup perubahan sosial, ekonomi dan perkembangan teknologi.
“Perubahan gaya hidup, materialisme dan industrialisasi yang terkait teknologi terkadang memunculkan tekanan sosial dan isolasi sosial sehingga memicu stres deperesi hingga bunuh diri,” jelasnya.
Baca juga : Berita Jadi yang Terbanyak se-Indonesia, UMM Loloskan 19 Proposal di P2MW
Faktor selanjutnya karena adanya tekanan hidup yang meningkat dari waktu ke waktu seperti persaingan di dalam pendidikan, pekerjaan dan kehidupan sosial. Berbagai hal tersebut dapat memunculkan respon psikologis yang negatif. Seseorang yang kerap berada pada situasi yang memiliki tekanan hidup tinggi, termasuk tekanan akademik, ekonomi dan sosial. Ini sangat berkaitan dengan peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
“Juga pada individu yang mengalami situasi krisis seperti pandemi, perang, bencana alam. Ini karena menderita dalam situasi yang lama, dapat memunculkan kecemasan, stres dan berbagai isu kesehatan mental lainnya,” tambah Nandy.
Ia pun menekankan, peningkatan angka individu yang bermasalah dengan kesehatan dan gangguan mental ini sebetulnya seperti fenomena gunung es. Data yang didapat hanya Sebagian saja dari kenyataan yang ada. “Sebagaimana bentuk gunung es yang hanya menonjolkan beberapa elemen di atas puncak, terdapat beberapa elemen penting lainnya yang tak terlihat sebab berada di bawah puncaknya. Ini disebabkan oleh riset yang semakin marak dilakukan sehingga didapatkan data atau temuan-temuan yang seperti itu,” ucapnya.
Terakhir adalah keterjangkauan akses layanan kesehatan mental yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Alasannya mulai dari tingginya biaya pengobatan, pelabelan negatif dan fasilitas perawatan kesehatan mental yang masih minim di beberapa daerah. Dampaknya, individu yang bersangkutan akan terhambat saat ingin mencari perawatan yang mereka butuhkan.
Baca juga : Sarung Bukan Asli Indonesia? Begini Sejarahnya
Untuk mengatasi hal ini, Nandy menyampaikan pentingnya upaya yang sifatnya mikro dan makro. Pada level mikro, pengidap harus diajari untuk meningkatkan kapasitas didalam mengelola emosi dan keterampilan koping stres. Sehingga ia akan mampu beradaptasi dan menangani stres dalam kehidupan sehari-hari.
“Untuk tingkat makro, pemerintah harus lebih memperhatikan lagi akses terhadap layanan kesehatan mental, promosi lingkungan komunitas yang mendukung, pelatihan tenaga kerja masyarakat dan pembentukan kebijakan publik yang mendukung kesehatan mental,” tambahnya.
Di akhir Nandy berpesan, semua lini dan stakeholder harus ikut bertanggung jawab terhadap isu kesehatan mental. Secara spesifik utamanya keluarga, sekolah, pemerintah, masyarakat, dan individu. “Kerjasama dari semua pihak tersebut sangat penting untuk membentuk lingkungan yang mendukung terhadap pertumbuhan pribadi dan masalah kesehatan mental yang dihadapi,” pungkasnya. (dev/wil)