Pidato Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam forum Seminar Kebangsaan KTN Ke-61 YPPII (Foto : Istimewa). |
Menyongsong Indonesia emas di 2045, tidak pas rasanya jika tidak melihat bagaimana konsep moderasi dijalankan di Indonesia. Salah satunya moderasi dalam beragama. Hal ini disampaikan Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si. selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam forum Seminar Kebangsaan KTN Ke-61 YPPII Batu, 4 Juli lalu. Forum diskusi yang mengangkat sub-tema jalan baru moderasi beragama tersebut menghadirkan Haedar sebagai pembicara dalam isu moderasi beragama. Turut hadir dan mendampingi Rektor Univesitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si.
“Seperti yang kita tahu, Indonesia kaya akan keberagaman agama dan kebudayaan. Moderasi atau jalan tengah dalam beragama mengandung sikap toleransi dan gotong royong terhadap perbedaan yang ada,” kata Haedar.
Moderasi beragama tidak akan lepas dari konsep tentang moderasi berbangsa. Dalam beragama, pasti mengajarkan mengenai konsep wasatiyah (jalan tengah) yaitu keagamaan yang mengajarkan konsep keadilan, kasih sayang, dan toleransi. Konsep beragama ini secara tidak sadar mengandung konsep moderasi dalam berbangsa. Di mana, konsep tersebut sama halnya dengan dasar negara kita saat ini yaitu Pancasila yang memiliki banyak nilai moderat.
Baca juga : Bagaimana Pusat Data Nasional Bisa Diretas? Ini Penjelasan Dosen UMM
Sebelum Pancasila dicetuskan, terdapat perbedaan pandang setiap golongan yang ingin mencetuskan dasar negara ini. Mulai dari dasar keberagamaan, dasar nasionalisme, sosial demokrat, dan lain sebagainya. Namun, terdapat dua hal yang melekat di jiwa bangsa Indonesia saat itu yaitu agama dan kebudayaan luhur bangsa. Hal ini yang menjadi cikal bakal pancasila yang memiliki perbedaan dengan bangsa lain.
“Dari pancasila yang dicetuskan saat itu, kita bisa melihat bahwa ada banyak yang mengandung nilai moderasi khsusunya dalam beragama,” tambahnya.
Pada sila pertama contohnya, membahas mengenai keberagaman agama yang disatukan dalam ketuhanan yang Maha Esa. Artinya adalah masyarakat diminta untuk saling menghargai terhadap perbedaan keyakinan dan keberagaman tersebut. Juga, dapat dilihat melalui sila ketiga yaitu persatuan Indonesia. Sila ini mengandung makna bahwa dalam merawat Indonesia dibutuhkan persatuan dalam keberagaman yang besar.
Maka dari itu, Muhammadiyah menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Darul Ahdi Wasy Syahadah atau Negara kesepakatan dari perjanjian yang disepakati. “Yang disepakati apa? Yang disepakati adalah pancasila sebagai dasar dalam moderasi segala hal di Indoensia,” tambahnya.
Baca juga : Bantu Branding UMKM, Pustawakan UMM Juara Ajang Nasional
Terakhir, ia menyebut bahwa dalam menjalankan moderasi di Indonesia pasti mengalami banyak tantangan. Mulai dari isu intoleransi, isu kesalahpahaman, maupun isu sosial lainnya. Tapi, kunci dalam menyelesaikan masalah adalah memahami mengenai agama, pancasila, dan kebudayaan bangsa dengan mendalam, luas, dan visioner.
“Dengan kita menerapkan ketiga kunci tersebut, Insya Allah bangsa kita akan keluar dari masalah yang dihadapi untuk menyongsong Indonesia emas 2045,” tegasnya mengakhiri. (tri/wil)