Dra. Juli Astutik, M. Si , dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial UMM. (Foto : Ghalib Humas) |
Gelandangan dan pengemis atau yang sering kita kenal dengan istilah “gepeng” adalah kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas meminta-minta uang pada area umum secara terus menerus. Masyarakat yang menjumpai golongan ini biasanya akan iba dan memberikan uang kepada mereka. Secara sekilas hal ini tidak ada yang salah, namun apa efek jangka panjang bagi struktur sosial yang nantinya terbentuk di masyarakat?
Berkaitan dengan hal ini, dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial (Kesos) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dra. Juli Astutik, M. Si memberikan penjelasannya. Menurutnya, pengemis adalah salah satu penyakit sosial dalam struktur masyarakat. Keberadaannya dapat mengganggu ketertiban dan berpotensi menimbulkan tindak kriminalitas.
Baca juga : Pimpinan Cabang Aisyiyah UMM Langsungkan Musycab, Dorong Perempuan Jadi Berkemajuan
“Dalam perspektif ahli pekerjaan sosial, pengemis merupakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang akut dan berakar dari persoalan kemiskinan, yaitu Kemiskinan kultural. Di mana kemiskinan ini disebabkan karena mentalitas atau budaya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Juli, sapaan akrabnya menguraikan bahwa di samping kurangnya akses pendidikan wajib, penyebab kemiskinan ini salah satunya bersumber dari mentalitas dan sikap hidup. Seperti misalnya malas bekerja, boros, dan suka meminta. Oleh karena itu, pengemis mengalami ketidakberfungsian sosial (social disfunction).
Di lain sisi, jika dilihat peraturan pemerintah maupun daerah yang mengatur terkait pengemis ini, masih banyak celah yang seharusnya digali lebih dalam. Termasuk mengenai tingkat efektivitas peraturanya agar dapat menyelesaikan akar permasalahan. Contohnya saja, walaupun banyak kota sudah menerapkan larangan memberi uang kepada pengemis, tetapi pelaksanannya masih kurang maksimal.
Baca juga : Dosen UMM: Penderita Maag juga Bisa Diet
“Memberi pengemis sebenarnya sama saja dengan kita membiarkan mereka (para pengemis.red) terjerumus dan terlena dalam kemalasan dan kemiskinan terus menerus tanpa adanya keinginan untuk menjadi masyarakat yang mandiri dan produktif,” tegas Yuli.
Namun, Juli menambahkan, jika dilihat dalam perspektif agama, memberi orang yang tidak mampu merupakan salah satu ibadah yang dinamakan sedekah. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bersama oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari pemerintah hingga masyarakat untuk fokus memutus akar dari permasalahan. Yakni “ketergantungan” dan “mentalitas” pengemis untuk selalu meminta-minta dan tidak mengusahakan mata pencaharian yang lain.
“Pemerintah secara khusus harus mengkaji kembali peraturan yang berfokus pada pengemis itu sendiri. Bukan malah memberikan sanksi denda mateeril kepada pemberi uang. Pemerintah juga harus membuat sistem pemberdayaan pengemis dengan menyediakan wadah yang luas, untuk pengembangan skill dan keahlian yang bisa menghasilkan,” kata Juli mengakhiri. (*lib/wil)