Proses konseling oleh mahasiswa (Foto: Syifa Humas) |
Memerhatikan kondisi mental memang penting tapi jangan sampai melakukan self diagnosis. Hal itu disampaikan oleh Kepala UPT. Bimbingan & Konseling, Hudaniah, S.Psi., M.Si. Menurutnya, mendiagnosis diri sendiri akan sangat berisiko. Sifatnya akan menjadi subjektif dan tidak ada lagi sudut pandang orang lain.
“Carilah orang yang profesional seperti psikolog atau datang ke psikiater. Bisa juga datang ke layanan bimbingan konseling (BK) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Nanti akan kami bantu dan dampingi untuk menangani masalah psikis yang dialami oleh masyarakat,” tambahnya.
Hudan menjelaskan bahwa ada beberapa pelayanan yang pihaknya sediakan. Mulai dari yang bersifat klasikal atau individual. Klasikal yaitu bimbingan yang bertujuan agar orang mampu mengenali potensi dirinya, memahami lingkungan dan mampu mengatasi hambatan atau permasalahan yang dapat berpotensi untuk masa depan. Sedangkan yang bersifat individual yaitu konseling yang didasarkan atas kemauan sendiri untuk memecahkan permasalahan atau trauma yang dimiliki.
“Bimbingan yang bersifat klasikal biasanya diperuntukan untuk mahasiswa baru yang ingin mengenali potensi diri yang nantinya akan diarahkan untuk psikotes. Untuk yang individual biasanya berupa masalah pribadi terkait dengan keluarga ataupun dengan teman. Pun juga dengan kondisi emosi,” jelas Hudan.
Ia menegaskan kembali bimbingan konseling akan jauh lebih efektif jika didasari atas kemauan sendiri. Berbeda dengan BK saat di sekolah, Konseling di kampus akan siap sedia jika ada keluhan yang didasarkan atas kemauan sendiri. Terutama jika memiliki masalah. “Pada intinya seseorang yang melakukan konseling karena butuh support dan ingin berbagi cerita dengan orang lain,” tegasnya.
Hudan bercerita setiap masalah yang membutuhkan konseling memiliki keunikan sendiri-sendiri. Di UMM sendiri konseli (client) yang dihadapi juga dari latar belakang masalah yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari trauma dengan keluarga, masalah hubungan percintaan, masalah dengan tugas akhir dan juga merasa memiliki masalah dari dalam diri sendiri.
“Di beberapa kasus trauma, ada yang membutuhkan lebih dari sepuluh kali pertemuan untuk bisa sembuh. Karena kondisi psikologis berbeda dengan fisik, seorang klien harus mempercayai penuh seorang konselor yang dipercayai untuk berbagi cerita,” tutur Hudan.
Ia juga menilai bahwa sebagian masyarakat kita beranggapan negatif dengan mereka yang mengunjungi psikiater atau psikolog. Dianggap memiliki gangguan jiwa atau stress. Padahal, orang juga perlu penanganan lebih lanjut jika sudah merasa tak nyaman dengan diri sendiri. Meski begitu, ia mengakui bahwa mengubah cara pandang orang bukanlah perkara yang mudah.
“Dulu, masyarakat kita kan tidak biasa dengan orang-orang yang memiliki perilaku berbeda. Bahkan ada yang dipasung karena memang belum mengenal apa itu psikiater dan psikolog. Tapi seiring waktu, masyarakat juga harus menyadari bahwa ada profesi-profesi yang dapat menangani kondisi seperti ini,” ungkapnya.
Hudan juga mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya untuk mengedukasi berbagai lapisan masyarakat. Seperti orang tua dan remaja ataupun calon pasangan yg mau menikah. Materinya juga beragam, mulai dari seberapa pentingnya menguatkan mental anak, bahkan juga edukasi mengenai pra nikah untuk mempersipkan kesehatan mental orang tua. Mereka juga masih harus berupaya untuk mensosialisasikan peran psikolog. (zak/wil)