Dekan Fakultas Agama Islam UMM Drs Achmad Faridi MSi (tengah) dan Dosen Fakultas Hukum UMM Tinuk Dwi Cahyani SH SHI MHum (kiri). Foto: M. Zulfikar Akbar. |
LEMBAGA Kebudayaan (LK) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan kajian multidisipliner bertema “Tradisi dan Hukum Adat dalam Perspektif Muhammadiyah”. Kajian yang memasuki seri kesepuluh ini menghadirkan Dekan Fakultas Agama Islam UMM Drs Achmad Faridi MSi dan Dosen Fakultas Hukum UMM Tinuk Dwi Cahyani SH SHI MHum. Kegiatan yang diikuti dosen di lingkungan UMM dan pimpinan Aisiyah se-Malang Raya berlangsung di Ruang Sidang Senat UMM (15/6).
Ketua LK UMM Dr Tri Sulistyaningsih MSi menilai, perkembangan hukum adat menurut perspektif Muhammadiyah merupakan topik menarik, di mana hal tersebut diyakini memiliki keterkaitan dengan perbedaan cara pandang dalam mempersepsi dakwah kultural. “LK ingin menjadikan Islam sebagai agama yang ditradisikan dan LK sebagai supporting system UMM yang bersinergi dengan lembaga-lembaga di masyarakat,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM ini.
Wakil Rektor I Prof Dr Syamsul Arifin MSi yang membuka kegiatan ini memulai dengan paparan bahwa dalam dakwah kultural terdapat tradisi. Tradisi menurunya adalah warisan masa lalu. Tradisi terdiri dari tradisi kecil yang tidak berlaku universal dan tradisi besar yang berlaku universal. “Muhammadiyah menganut dan mengembangkan tradisi besar, jadi Muhammadiyah tidak harus dipertentangkan dengan tradisi. Karena apa yang kita lakukan saat ini adalah keberlanjutan dari tradisi yang ada sebelumnya,” jelas Syamsul.
Faridi dalam kajiannya menyampaikan tentang interaksi Islam dengan budaya lokal. Fenomena keislaman di Indonesia menurutnya berbeda-beda berdasarkan tradisinya. “Fenomena keislaman ini dapat dilihat hampir di seluruh pelosok tanah air. Di Sulawesi saja ada Islam Bugis dan ada Islam Makassar, demikian juga fenomena keislaman di Aceh, Minangkabau, Banten, Madura, Jawa. Hal ini telah memberi kontribusi sangat besar terhadap penyebaran maupun perkembangan Islam khususnya di kepulauan Nusantara”, ungkapnya.
Sementara itu Tinuk mengatakan, dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu hukum kebiasaan yang bersifat tradisional dan hukum kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain. Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia di muka bumi ini yait udimensi adat Tapsila atau akhlaqul-karimah, dimensi adat krama dan dimensi adat Pati atau gama.
Tinuk juga menambahkan, hukum adat dalam masyarakat Indonesia memuat aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir yang memiliki corak atau pola yang khas yaitu mempunyai sifat kebersamaan atau komunal, mempunyai corak magis-religius, sistem hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkret dan hukum adat mempunyai sifat yang sangat visual.
Tinuk mencontohkan Suku Tengger, di mana di pagi hari para warga petani di Suku Tengger masih berbincang bincang santai, yang hal itu berbeda dengan beberapa aktivitas petani di daerah Jawa umumnya yang pergi ke sawah atau ke ladang lebih dini. Tidak hanya itu, di Suku Tengger menikah juga harus dengan sesama Suku Tengger. “Jika menikah dengan seorang luar dari Suku Tengger maka diharuskan untuk keluar atau tinggal di luar suku tengger,” ujarnya.
Bagi Tinuk, hukum adat juga merupakan hukum yang berkembang dan hidup di masyarakat. Karenanya, unsur-unsur yang ada dalam hukum adat dapat menjadi asumsi bagi putusan-putusan para warga masyarakat. Terutama keputusan yang dapat membantu pelaksanaan perbuatan hukum dengan keyakinan hukum rakyat yang senafas dan seirama dengan kemaslahatan masyarakat. (roh/han)