Alat Deteksi Rematik, Inovasi Mahasiswa UMM (Foto : Istimewa) |
Penyakit rheumatoid arthritis atau rematik merupakan penyakit autoimun dengan gangguan peradangan jangka panjang pada sendi. Umumnya penyakit ini sering ditemui pada lansia, tetapi tidak menutup kemungkinan orang dewasa ataupun para remaja juga dapat mengalaminya. Maka dari itu Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berinovasi ciptakan alat pendeteksi dini penyakit rheumatoid arthritis melalui kuku.
Mereka adalah Nuri Vhirdausia, Frenischa Yincenia W, dan Desta Karina yang merupakan mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes), serta ada juga Abi Mufid Octavio dan Muhammad Lutfi yang merupakan mahasiswa Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik (FT).
Baca Juga : Pengabdian Mahasiswa UMM Ajari Siswa SD Berbisnis
Abi Mufid Octavio menjelaskan bahwa jika penyakit rheumatoid arthritis ini sudah memasuki masa akut, maka tidak dapat disembuhkan sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan. Maka perlu adanya identifikasi sedini mungkin untuk mengetahui seseorang berpotensi terkena penyakit rematik atau tidak. Menariknya, alat tersebut telah diuji cobakan kepada lebih dari 100 sampel dan mendapatkan respon yang positif.
“Sampel kami ada banyak mulai dari remaja, dewasa, dan lansia. Setelah menggunakan alat kami untuk deteksi dini kemudian melakukan re-check lebih lanjut ternyata didapati hasil yang efektif,” jelasnya.
Abi sapaan akrabnya melanjutkan bahwa alat tersebut bekerja dengan menganalisis kondisi kuku, mulai dari tekstur, ridging atau berlubang, kuku menguning, rapuh dan pendarahan serpihan. Yang mana kondisi visual tersebut tidak dapat dilihat secara langsung lewat mata telanjang. Selanjutnya jika ditemukan indikasi rematik, maka akan dilakukan observasi lebih lanjut dengan dokter.
“Indikasi rematik itu ada banyak, dan alat kami bertugas untuk memvisualisasi hasil dari kuku yang telah difoto untuk diidentifikasi lebih lanjut,” lanjutnya.
Tentu, setiap inovasi yang dibuat pasti mengalami kesulitan dalam pengembangannya, itu juga berlaku bagi Abi bersama dengan timnya. Ia mengaku memerlukan waktu lebih dari satu bulan untuk melakukan pengembangan untuk inovasi tersebut. Dan kedepan alat tersebut juga akan dibuat secara masal, tentu tidak lain untuk menambah ragam inovasi dalam dunia kesehatan.
“Dengan biaya produksi sebesar 7 juta rupiah, menurut kami itu nilai yang kecil untuk inovasi dalam dunia kesehatan. Dan kedepan kami akan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang nantinya dapat di komersialkan,” ungkapnya.
Terakhir, dia berharap lewat inovasinya bersama tim dapat memberikan warna baru dalam dunia kesehatan. Masyarakat dapat mengidentifikasi sejak dini terindikasi gejala dari penyakit rematik, dengan begitu pasien dapat segera dibawa ke rumah sakit untuk nantinya dilakukan pengobatan lebih lanjut. Dia juga berpesan kepada mahasiswa khususnya jas merah kampus putih untuk tidak bosan-bosan berfikir dan menciptakan produk inovatif.
“Dahulu para penemu inovasi terbarukan itu banyak yang masih berusia muda. Dan anak muda saat pasti juga masih bisa melakukan hal tersebut. Jangan bosan dalam berinovasi, karena segala inovasi itu tentu ada manfaatnya,” pesannya. (Zaf/Faq)