Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nur Putri Hidayah, A.Md., SH., MH. (Foto : Istimewa) |
Nikah siri adalah konsep yang sudah melekat di masyarakat umum dan sering diartikan sebagai pernikahah yang sah secara agama saja. Namun dari sisi hukum negara, nikah siri tidak tercatat secara administratif dan seringkali menimbulkan berbagai persoalan di belakangnya.
Hal ini disampaikan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Nur Putri Hidayah, A.Md., SH., MH. Menurutnya, pernikahan siri dapat menimbulkan berbagai dampak merugikan bagi keluarga terdekat di sekelilingnya.
“Masalahnya, pernikahan siri menimbulkan banyak kerugian dari sisi hukum. Baik bagi pasangan suami istri, maupun terhadap keturunannya apabila memiliki anak,” jelasnya.
Baca juga : Mahasiswa Baru UMM Ini Langganan Juara Tilawah
Putri, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa peraturan induk tentang perkawinan sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan diperbarui dalam UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan tersebut mengatur batas usia pernikahan yang saat ini minimal 19 tahun antar kedua mempelai pasangan.
Dalam pasal 2 ayat 1, dijelaskan bahwa sah tidaknya perkawinan dikembalikan pada masing-masing kepercayaan. Hal ini karena, jika berbicara pernikahan maka akan masuk ke dalam ranah dimensional. Namun dalam ayat 2, dijelaskan bahwa pernikahan harus tercatat oleh negara.
“Dalam sebuah perkawinan, maka pasti akan muncul hak dan kewajiban suami istri yang juga sudah diatur dalam UU. Maka, negara tidak bisa menjamin lapabila pernikahan tidak tercatat,” ujarnya.
Pernikahan siri mengakibatkan pasangan tidak dapat membuktikan bahwa mereka sudah menikah di mata hukum. Hal ini bisa merugikan istri. Misalnya, ketika terjadi konflik harta warisan saat suami meninggal dunia atau menuntut suami untuk menafkahinya.
Baca juga: Undang Pakar Internasional, Icon-TINE UMM Bahas AI dan Manusia
Selain istri, dampak merugikan lainya juga dapat menyeret anak apabila dalam perkawinan tersebut melahirkan keturunan. Dalam undang-undang, apabila terdapat anak hasil pernikahan siri, maka anak tersebut statusnya adalah anak di luar perkawinan. Sehingga, status keperdataan anak hanya kepada sang ibu dan tidak ada ayah dalam akta lahirnya.
Lalu bagaimana jika sudah terlanjur menikah siri? Putri menjelaskan bahwa pasangan tersebut bisa mengajukan permohonan ke pengadilan agama terdekat dan prosesnya pun tidak rumit. Setelah itu, pernikahan bisa tercatat dan mendapatkan akta nikah yang sah.
“Catatlah perkawinan anda. Selain sah secara agama juga harus sah secara hukum dan tercatat secara administratif. Karena dengan tercatat secara resmi, maka hak-hak kalian akan terlindungi oleh negara. Bukan hanya suami-istri saja, namun juga untuk keluarga terdekat seperti anak yang dilahirkan,” pungkasnya. (*lib/wil)