Dosen Perpajakan Agustin Dwi Haryanti, SE.,MM.,Ak.,CA,.CSRS.,CSRA (Foto : Devi Humas) |
Tarif pajak hiburan yang menjadi ketentuan khusus sebagai objek Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mendapat protes. Terutama dari pelaku industri hingga para influencer di media sosial. Sebab, kenaikan pajak 40% - 75% ini dianggap memberatkan dan merugikan pelaku usaha, khususnya industri hiburan.
Hal ini menarik perhatian dosen Perpajakan program studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang, Agustin Dwi Haryanti, SE.,MM.,Ak.,CA,.CSRS.,CSRA. Aturan baru ini dirasa memberatkan karena terdapat batas minimum dan maksimumnya. Ia menjelaskan bahwa pajak hiburan ini adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Sehingga, pungutan pajak setiap daerahnya tidak akan sama karena kebijakan tiap daerah berbeda. Pun, tidak semua industri hiburan terkena pajak hiburan sebesar itu.
“Pajak minimal 40%, maksimal 75% ini hanya untuk hiburan tertentu seperti diskotik, karaoke, spa, kelab malam, dan bar. Hal ini mempertimbangkan jenis hiburan tersebut yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu,” ucap Agustin, sapaan akrabnya.
Baca juga : Daur Ulang Daun Sereh, Mahasiswa CoE Essential Oil UMM Ciptakan Pembersih Lantai Alami
Sedangkan pergelaran seni, tontonan film, pameran, pertunjukkan sirkus, pacuan kuda, perlombaan kendaraan bermotor, kontes kecantikan, kontes binaraga, permainan ketangkasan, olahraga permainan, rekreasi wahana, panti pijat dan refleksi, dikenakan pajak hiburan paling tinggi sebesar 10%.
Seperti yang kita ketahui, pajak hiburan yang dikenai pajak minimal 40%, maksimal 75% ini memiliki pandangan yang negatif di masyarakat. Maka dari itu, selain untuk meningkatkan pendapatan daerah, salah satu tujuan dari naiknya pajak hiburan ini adalah agar tingkat keminatan untuk menjadi konsumen yang loyal pada tempat hiburan yang berkonotasi negatif tersebut menurun. Sehingga dengan adanya peraturan ini, beberapa konsumen mungkin akan berpikir 2x untuk mendatangi tempat tersebut dan memakai jasanya.
“Kita ambil contoh Thailand yang memiliki pajak hiburan sebesar 5%. Karena pajak hiburannya rendah, jadi banyak tempat hiburan-hiburan semacam itu. Jika Indonesia melakukan hal yang sama, tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama seperti di Thailand,” jelasnya.
Baca juga : Dosen UMM Beri Tips Hindari Sengatan Listrik saat Banjir
Terlepas dari hal itu, Agustin yakin jika pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak (DJP), mengelola pajaknya dengan baik, maka Warga Negara Indonesia (WNI) yang masuk kategori Wajib Pajak (WP) akan loyal dan tidak masalah untuk membayar pajak. Permasalahannya sekarang adalah kepercayaan Wajib Pajak dan seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki hak atas pemerataan dari pungutan pajak tersebut.
Agustin berharap, pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dan menyeluruh, apakah hasil pungutan pajak tersebut sudah benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kemudian jika ingin menaikkan tarif, harus ada imbalan yang diterima oleh WP utamanya. Sebab, tujuan pajak adalah untuk memakmurkan seluruh masyarakat Indonesia. Agustin berharap pajak ini tidak menguntungkan pihak tertentu dan tidak merugikan pihak tertentu. (*dev/wil)