Nurudin, penggagas penulisan buku mahasiswa. (Foto: Humas UMM) |
PROGRAM STUDI (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam waktu dekat akan merilis 10 judul buku. Yang berbeda dari proyek penulisan buku sebelumnya, pada tahun 2020 ini berhasil memecahkan rekor penerbitan buku terbanyak yakni sepuluh buku. Kesepuluh buku ini merupakan proyek tugas akhir dari mata kuliah Media dan Masyarakat yang diampu dosen Ilmu Komunikasi Nurudin, M.Si.
Ceritanya, setiap mengawali perkuliahan, Nurudin selalu menawarkan kepada mahasiswa yang diajarnya untuk membuat proyek kepenulisan. Tidak melulu menerbitkan buku. Tradisi literasi ini sudah dimulainya sejak tahun 2009. “Pokoknya harus ada publikasi. Kuliah jalan, nilai didapat, publikasi kampus juga ada. Pulang tidak hanya membawa ijasah tetapi juga kenang-kenangan buku,” terang Nurudin via daring.
Tahun 2020 ini, dosen yang dikenal sebagai provokator menulis ini memberikan opsi menulis buku atau kuliah biasa saja. Empat kelas yang dia ampu memilih membuat buku, sementara sisanya memilih kuliah biasa. “Karena pandemi Covid-19, yang milih kuliah biasa saya sarankan tugas UAS-nya menulis di media. Boleh media cetak, online atau paling ringan nulis di blog,” kata dosen yang telah menerbitkan puluhan buku ini.
Penentuan tugas akhir apa yang diambil pun dilakukan secara demokratis. Dimusyawarahkan oleh seluruh mahasiswanya di kelas. Kemudian mereka voting, lewat Line atau langsung memutuskan di kelas. “Saat memilih buku tentu saya, kan, harus memenuhi keinginan mereka. Lagian, itu sesuatu yang sangat baru bagi mereka. Ternyata mereka antusias dan bisa menulis,” ungkap Nurudin, Senin (15/6) siang.
Baca juga: Mahasiswa Psikologi Bisa Apa Selama Pandemi?
“Ternyata setelah mereka menulis dan diterbitkan jadi kecanduan. Yang nulis buku semangat ingin nulis lagi. Yang tugas nulis di media ingin juga menulis lagi. Setidaknya data ini saya dapatkan dari komentar mereka saat saya tanya bagaimana kesan setelah membuat tulisan,” ungkap mantan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UMM yang baru-baru ini kembali menerbitkan buku berjudul “Agama Saya adalah Uang” ini.
Kesepuluh judul buku yang terbit. (Foto: Istimewa) |
Menerbitkan tulisan punya tempat tersendiri bagi Nurudin. Dengan menulis lantas menerbitkanya, justru punya hasil yang konkrit yakni karya. “Kalau tidak untuk apa? paling naskah tulis itu dikumpulkan ke dosen, selesai. Kalau menerbitkan buku, kan ada manfaatnya. Lalu setelah mereka menulis di media, saya minta untuk mention akun twitter saya dan Prodi komunikasi UMM. Tugas saya me-retweetnya,” ujar Nurudin.
Sejak tradisi literasi ini pertama kali digulirkan pada tahun 2009, jumlah buku yang diterbitkan beragam. “Tidak tentu karena harus saya polling dulu saat pertamakali masuk kelas. Tahun 2019 ada 10 judul buku. Ini prestasi paling banyak jika dilihat dari jumlah judul. Tahun 2020 ada 9 judul buku. Juga artikel mahasiswa 3 kelas. Jika rata-rata per kelas 50 orang akan ada publikasi 50 judul tulisan di media,” ungkap Nurudin.
Dari segi kualitas tulisan, Nurudin tak begitu mempermasalahkannya. Ia selalu mengapresiasi setiap mahasiswanya yang berani memulai memiliki karya. Dalam bentuk apapun. “Menurut saya tulisannya bagus. Tentu dengan kemampuan mereka sebagai mahasiswa. Tentu saya tidak bisa memakai tolok ukur diri saya sendiri. Produk mahasiswa dan dosen itu kan karya? Menulis buku salah satunya,” tegas Nurudin.
Baca juga: Raup Omset Puluhan Juta dari Bisnis Anggrek
Karya terbaik menurutnya terbitan awal, yakni tahun 2009. “Merintisnya waktu itu susah sekali. Saya serahkan ke mahasiswa untuk diterbitkan. Nggak jalan. Akhirnya saya harus naik bis waktu itu ke Yogyakarta untuk mencari penerbit. Setelah diterbitkan akhirnya bisa dilaunching. Launching itu banyak diliput media. Setelah itu, memotivasi mahasiswa menulis buku lebih mudah karena sudah ada contohnya,” lanjutnya.
Lebih jauh, memotivasi mahasiswanya untuk menulis akan terus dilakukannya. “Mungkin ini yang bisa saya lakukan. Minimal memaksimalkan kemampuan diri saya karena punya keahlian menulis. Sudah saatnya saya memberikan atmosfer menulis di tempat saya bekerja. Buku memang bukan pilihan satu-satunya. Tetapi sivitas akademika dituntut untuk punya karya, buku hanya salah satu pilihan,” tandasnya. (can)