Penanggalan Jawa Masih Eksis, Dosen UMM Sebut sebagai Harmoni Budaya Indonesia yang Lestari

Author : Humas | Jum'at, 15 Desember 2023 08:28 WIB
Dr. Arif Budi Wurianto, M.Si. (Foto: Istimewa).

Kalender jawa di tahun 2023 dengan sistem penanggalan tradisional rupanya masih digunakan khususnya pada masyarakat Jawa. Tanpa disadari, kalender ini menjadi bagian dari identitas budaya Nusantara yang usianya sudah berabad-abad dan bertahan di tengah arus modernisasi. Tradisi dan kearifan lokal yang melekat pada penanggalan ini memiliki akar sejarah yang kuat. Hal tersebut  diungkapkan oleh Dr. Arif Budi Wurianto, M.Si. selaku dosen Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

"Kalender Jawa tidak lepas dari masa kerajaan Hindu-Budha, terutama di Kerajaan Mataram Kuno, Jawa Tengah. Terlebih, pada masa itu pengaruh agama Hindu dan Budha masih sangat dominan," jelasnya. 

Baca juga : Teliti Mikroplastik, Mahasiswa UMM Ini Sebut Makanan Banyak yang Terkontaminasi

Seiring masuknya Islam, penanggalan Jawa diakulturasi dengan agama Islam, menciptakan harmoni unik dalam setiap aspek kalender ini. Dalam penanggalan jawa dengan perhitungan bulan, ada beberapa nama bulan yang menggunakan istilah Jawa dan istilah Islam. 

“Seperti misalnya bulan suro dalam Jawa yakni bulan Muharram dalam Islam yang merujuk pada tahun Hijriah. Selain itu, ada bulan safar, Mulud atau Rabiul Awal, poso atau Ramadhan, Ba’da yakni Syawal atau Hari Raya dan lainnya,” sebut dosen yang akrab disapa Arif tersebut.

Ia juga menuturkan, penggunaan kalender Jawa tidak hanya sebagai alat pengukur waktu. Lebih dari itu, kalender ini mencerminkan filsafat hidup masyarakat Jawa yang erat kaitannya dengan siklus alam dan nilai-nilai keagamaan. Tradisi-tradisi unik seperti ‘Muludan’ pada bulan Rabiul Awal menjadi bukti bagaimana agama dan budaya saling menyatu dalam penanggalan ini.

Baca juga : Pengemis Menjamur, Dosen UMM Sebut Pemberi Perlu Diberi Sanksi

Selain itu, penanggalan Jawa sering digunakan untuk menentukan hari baik atau buruk dalam berbagai kegiatan. Mulai dari pekerjaan pertanian hingga upacara adat. Masyarakat Jawa meyakini bahwa keberhasilan suatu aktivitas sangat dipengaruhi oleh keselarasan dengan alam dan spiritualitas. 

“Namun, hal ini dipengaruhi oleh agama Hindu dengan tradisinya. Sebagai contoh, sebenarnya di Jawa tidak ada sesajen karena itu tradisi Hindu. Tapi, masyarakat Jawa meneruskan tradisi tersebut, sehingga saat ada acara khusus juga menggunakan sesajen,” tegas Kepala lembaga Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) UMM ini.

Sistem penanggalan Jawa menurut Arif, juga mencakup siklus pekan yang disebut "Pasaran." Terdapat lima hari dalam satu pekan, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setelah lima hari, siklus pekan akan berulang lagi. 

"Tradisi ini merupakan fakta tak terbantahkan yang harus dilestarikan. Meski demikian, penting untuk menyesuaikan tradisi yang tercermin dari penanggalan Jawa ini dengan keyakinan individu. Sama halnya dengan pemerintah yang tidak bisa menghentikannya, karena ini adalah bagian tak terpisahkan dari warisan budaya," pungkasnya.(lai/wil)
 

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image